Tulisan 2011, File lama!
Di tengah KKP ga sengaja buka-buka file-file laptop eh ternyata ketemu sebuah file yang dibikin tahun 2011 pas pertama masuk IPB kalo ga salah. Dan pas buka isinya tentang cerita memulai waktu SMA bersama AIA AKA dan alur ceritanya flashback dari pertama masuk SMA. Hmm..hasil tulisannya tidak terlalu jelek saat ditulis di tahun 2011. Sekarang masih ragu mau ngelanjutin ato ga. hehe.
Dilema
Hari dan Kenangan
Bogor, 27 juni 2011
Awan bergumpal di langit kota yang sejuk ini,
hujan seperti segan untuk turun meskipun kota ini disebut dengan kota hujan.
Gerimis mulai menemani perjalanan panjangku ke sini. Gagang koper yang masih
kupegang erat di tangan. Ember, bantal dan guling pun setia menemani perjalananku. Aku masih tak
menyangka aku berada di sini hari ini.
"Assalamua'laikum,
Selamat datang. Mau registrasi kamar?" kata seorang laki-laki yang jelas dari raut
wajahnya selalu nampak ceria. Umurnya tidak jauh beda denganku. "Boleh lihat
suratnya?". Aku memberikan kertas yang tadi kudapat dari registrasi
sebelum masuk asrama ini. Aku masih merasa setengah sadar ketika berada di
salah satu gedung dari tiga gedung dalam kompleks Asrama Putra di Institut ini.
Aku telah sampai di sini. Dan akan memulai kehidupan baru di sini.
"Muhammad
Idris. Benarkan?" aku tak mengacuhkan panggilan itu dan terdiam
memperhatikan keadaan sekitar. pria itu kembali bertanya kepadaku yang
membuat aku tersadar dari lamunan. Dia memanggil namaku setelah mengecek daftar nama
berdasarkan surat yang aku berikan kepadanya. “Perkenalkan, saya Altar. Saya
merupakan Senior Resident atau SR di Asrama C1 ini. SR itu adalah sebutan untuk
kakak tingkat yang akan menjadi penanggung jawab teman-teman selama berada di
sini”. dia menjabat tanganku. Aku hanya mengangguk-angguk kecil.
"Silahkan,
Ini kunci kamar dan pin angkatan baru. Untuk kamar 25 Lorong 3 berada di
sebelah sana, silahkan ikuti saja lorong itu". Dia menunjuk ke arah kananku.
"Iya, terima
kasih kak" jawabku sambil menoleh ke arah yang dimaksud.
***
Gedung C1, gedung yang akan aku tempati untuk setahun ke
depan. Ini sesuai dengan aturan kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa baru
wajib tinggal di asrama kampus. Asrama itu disebut dengan Asrama TPB.
Asrama ini terdiri dari Asrama Putri dan Asrama Putra. Asrama Putri dalam area dalam kampus yang terletak lebih dekat dengan jalan raya di luar kampus. Sedangkan untuk
Asrama Putra berada di pinggir lingkungan kampus, tepatnya di belakang
gerbang kampus. Asrama Putra (Astra) memiliki 4 gedung dengan satu gedung
terpisah dari kompleks astra. Setiap gedung bernama C1, C2, C3 dan C4 (Sylva) .
Dan setiap gedung memiliki ciri bangunan
yang sama. Begitu juga dengan Asrama Putri (Astri). Walaupun jumlah gedung
Astri lebih banyak dibandingkan Astra, yang terdiri dari A1, A2,A3,A4 (Rusunawa),
A5 (Sylva).
Regitrasi Asrama
sudah dimulai semenjak siang tadi. Para penghuni asrama baru sudah sibuk dengan
kelengkapan barangnya. Begitu juga denganku. Aku hanya memperhatikan
kesibukan orang-orang yang mungkin saja bisa aku ajak untuk berteman. Tapi niat
itu tak terlaksana karena sifatku yang sulit beradaptasi dengan lingkungan
baru. Aku masih merasa janggal. Aku berdiri memegang gagang koper yang telah
aku tarik kesana kemari bersama barang-barang lainnya.
Setelah
mendapatkan kunci kamar yang diberikan kakak yang tadi, aku langsung bergegas
menuju kamar yang telah ditunjukkan lokasinya. Langkah demi langkah aku
telusuri di gedung ini. Gedung ini sangat janggal bagiku. Ini pertama kalinya
aku melihat bangunan yang terdiri dari banyak kamar. Setiap kamar saling
berhadap-hadapan sehingga membentuk lorong yang menjadi jalan diantara
kamar-kamar itu. Di setiap pintu kamar dilabeli dengan nomor sesuai dengan
urutannya.
Aku kembali
mengecek surat dan kunci yang diberikan kakak tadi. Di kertas itu tertuliskan
Gedung C1 kamar 25. Aku memperhatikan satu per satu label nomor kamar yang
terpajang di depan pintu kamar tersebut. Lorong yang aku lewati itu dimulai
dengan kamar 11. Aku mengeja dan memperhatikan dengan seksama. Di sepanjang
jalan yang aku lewati, penghuni asrama sibuk memberesi kamarnya masing-masing
bagi yang telah menemukannya. Ujung dari lorong ini telah aku lalui. Di ujung
itu terdapat beberapa kamar mandi yang juga berjejer seperti kamar tadi, yang
membedakannya hanya kamar mandi itu lebih kecil dan terletak di sudut lorong.
Lorong tadi itu
disebut dengan lorong 2. Sekarang aku berbelok dan memasuki lorong 3 yang nantinya akan menjadi lorongku. aku
kembali mengeja nomor-nomor kamar tersebut. ‘kamar 25’. Kamar ini yang aku
cari. Aku membuka gagang pintu dan mencoba membukanya. Pintunya tidak mau
terbuka. Sepertinya belum ada orang di dalamnya. Kabarnya setiap kamar akan di
isi tiga sampai empat orang dan aku adalah orang pertama yang membuka kamar 25
ini. Aku mengeluarkan kunciku dan membuka pintu kamar.
Aku memasukinya
sambil mengucapkan salam. Hawa di kamar ini sangat sejuk karena jendelanya
berhadapan langsung dengan pepohonan yang rimbun. kamar ini mungkin sudah satu
sampai dua minggu ditinggalkan oleh penghuni lamanya yaitu kakak angkatan tahun
kemarin. Di dalam kamar terdapat sepasang tempat tidur yang bertingkat, empat
buah meja belajar dan empat buah lemari yang bersambung. Kamar ini masih bersih.
Mungkin sengaja dibersihkan sebelum kamar ini ditinggalkan penghuni sebelumnya.
Hal itu jelas terlihat dari sisa-sisa pengumuman untuk kebersihan dan
kelengkapan kamar yang terpampang di depan kamar ini.
Inginku lepaskan
penat dan langsung berbaring di atas kasur yang ada di dipan. Tapi hal itu
kuurungkan terlebih dahulu, karena masih belum di alasi dengan seprai. Aku
membuka koper dan menyiapkan apa saja yang perlu disiapkan. Memasang seprai,
memasukan barang ke dalam lemari dan membersihkan tempat yang agak sedikit
berdebu.
“Tok...tok...tok..” itu bunyi pintu yang
juga diiringin dengan salam. Pintu pun terbuka. Ada seseorang yang memasuki
kamar ini. Mungkin dia kamar sekamarku untuk setahun ke depan. Dan itu benar.
Aku menyapanya dan dia balik menyapa.
“Hi, Aku idris.
Aku dari Pariaman. kamu? Kita satu kamar ya” sapaku.
“Ya, Aku Bilal
dari Jakarta. sudah lama ya? tanyanya basa basi.
Percakapan kami
dimulai dengan kalimat-kalimat canggung seperti itu. Walaupun disadari dalam
setiap percakapan lebih banyak jedanya tapi setidaknya kamu telah melakukan dua
orang beru kenal. Bilal berasal dari Jakarta sedangkan aku dari Pariaman.
Awalnya aku berpikir Bilal akan bertanya tentang Pariaman atau sebagainya. Tapi
ternyata dia tidak banyak omong sama sepertiku. Padahal kalau saja dia bertanya
tentang kotaku pasti, aku akan menceritakannya sedikit. Mungkin saja dia sudah
tahu sehingga tidak mempertanyakannya lagi. Karena akhir-akhir ini Pariaman
sedikit terekspos di media karena merupakan daerah rawan gempa di Sumatera
Barat.
***
Adzan maghrib telah mengema. Suasana
asrama sepertinya belum terasa begitu ramai. Tapi sebagian hatiku masih
tertinggal tentang masa lalu. Apakah aku siap dengan kehidupanku yang sekarang.
Aku merenung kecil di akhir sujudku. Ini adalah keputusan yang kubuat. Tapi
kenapa rasanya begitu berat ketika memikirkannya. Rasa sesak. Aku bahagia
ketika memulai hari ini, tapi di sisi yang lainnya hatiku berat memulainya. Aku
hanya terdiam kaku di kamar ini. Kadang aku hanya bertanya pada diriku tentang
apa yang sebenarnya aku ingin. Aku tak mengerti diriku sendiri.
Rasanya hari
pertamaku di asrama diliputi rasa yang tak menentu. merasa sangat sedih dan
terkadang tersenyum kecil di balik hati. Aku sebenarnya tidak mau
memperturutkan perasaan ini, tetapi hal itu masih saja merasuki pikiranku.
Malam telah tiba, aku dan Bilal masih berada di dalam kamar. Kami hanya sibuk
dengan diri masing-masing. Sampai aku lihat Bilal telah tertidur di tempat
tidurnya. Aku tak bisa tidur. Aku berusaha untuk memejamkan mata ini, tapi
tetap saja tidak bisa. Aku mencari sesuatu yang dapat aku kerjakan. Aku tahu,
Aku tahu yang akan aku kerjakan ketika merasakan hal seperti ini. Pekerjaan
yang dapat menghilangkan sedih dan bebanku sejenak yaitu diariku. Aku keluarkan
buku yang bertuliskan “SIAPA SAYA?” disampul buku itu, dan aku mencoba untuk
menulis yang terjadi hari ini. Tapi...hatiku berkata lain. Aku tak ingin
menulis hari ini, aku hanya ingin membaca kejadian yang telah terjadi kepadaku
dulu.
Aku membuka buku
itu dari awal dan aku membacanya dengan perlahan. Satu, dua dan tiga kalimat
aku selesaikan. Aku kembali terbawa dengan kenangan masa-masa itu. Aku kembali
masuk ke dalam kejadian itu.
Kesempatan
Selanjutnya
Pariaman, 2008
Dilema di hati semakin menusuk ke ubun-ubun otakku. Mungkin tak hanya
aku yang menghadapi hal yang sama. Sebagian besar temanku bernasib sama.
Terkatung-katung mencari sekolah yang sesuai dengan keinginan tetapi terkendala
dengan nilai yang tidak memungkinkan mencapainya.
Aku baru saja lulus dari MTsN Model di kotaku
dengan nilai pas-pasan. Rataan nilai 7,5 tidak cukup bagus untuk memasuki
sekolah yang diinginkan. Hal itu tak hanya dirasakan oleh aku seorang diri.
Hampir sebagian besar teman sekelasku bernasib sama. Berbeda halnya dengan teman
kelas lain yang mendapat nilai rataan yang besar 8 sampai 9 ke atas. Padahal
kelas kami merupakan kelas unggulan di sekolah, tapi apa yang terjadi? Apa
karena kami terlalu memandang remeh ujian sehingga kalah dari yang lain? Kami
rasa tidak. Sampai saat ini aku hanya mengubur pertanyaan itu yang sebenarnya
sudah kutemukan jawaban. Semua orang tahu apa yang terjadi dengan ujian
penentuan kelulusan itu. Ujian Nasional itu!
Aku telah mengunjungi semua Sekolah Menengah
yang berada di kotaku. Berharap aku dapat lulus
dan terdaftar di sana. Berbagai ujian saringan aku ikuti. Aku sudah
meniatkan untuk memasuki Sekolah Umum setelah lulus dari sekolah agama. Setelah
memantapkan ilmu agama maka ini saatnya melanjutkan ilmu yang umum . Aku tahu
ini pendapat tidak terlalu baik. Menuntut ilmu dunia dan akhirat itu diwajibkan
oleh Allah. Sedikit menyesal dengan anggapan banyak orang bahwa sekolah umum
lebih baik daripada sekolah agama. Aku melihat banyak orang memilih Sekolah
agama sebagai pilihan terakhir. Sekolah yang hanya dijadikan cadangan dan
terabaikan. Sungguh miris. Terkadang karena anggapan itu aku sedikit malas
untuk melanjutkan pendidikanku ke sekolah agama walaupun aku lulusan MTsN.
***
Aku
masih ingat kejadian ketika aku berbagi impian tentang masa depan bersama Adam
di Mesjid Piaman. Mesjid Piaman yang terletak di Pusat Kota Pariaman yang
merupakan tempat kami menghabiskan waktu dan saling berbagi cerita sehabis
pulang sekolah. Berbagi tentang masa depan yang kita inginkan. Aku menceritakan
apa yang aku inginkan. Keinginanku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin
melanjutkan sekolahku di Sekolah Menengah di Kota Pariaman. Karena orang tuaku
juga lebih setuju aku melanjutkan ke sana. sedangkan Adam selalu bercerita
bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di SMA terbaik di Kota Padang. Dan kami
ingin keinginan ini terwujud.
Adam adalah anak dari keluarga yang
berkecukupan. Memiliki tubuh yang sedikit kurus tetapi kalau dibandingkan
dengan diriku, aku jauh lebih kurus daripadanya. Berparas diatas rata-rata yang
membuat semua wanita akan melirik kepadanya. berperawakan rapi dan berkulit
putih mulus, selayaknya perawakan anak orang kaya seperti di film-film FTV.
Yang kadang membuatku iri kepadanya dalam segala hal. Aku selalu ingin
melampauinya dan kadang terbesit ingin seperti dirinya. Aku adalah anak dari
keluarga sederhana, semua kebutuhan tercukupi meskipun pas-pasan. Wajahku tak
seganteng Adam dan selalu merasa minder kalau berurusan kondisi fisik.
Sepertinya impian-impian kita ketika di mesjid
itu tidak berjalan dengan semestinya atau sesuai keinginan. Nilaiku tidak
menjadi syarat masuk sekolah favorit yang telah kuidamkan sejak dulu. Aku
terpaksa mencari alternatif dengan mendaftar di sekolah lain yang peluangnya
lebih besar. Begitu halnya dengan Adam. Nilainya sedikit lebih tinggi
dibandingkan nilaiku. Walaupun nilai itu tidak cukup besar untuk bersaing di
SMA favorit di Kota Padang.
“Cobalah mendaftar di Madrasah Aliyah yang ada di kota kita ini dulu. Kalau melihat
kondisi seperti ini sepertinya nilai kamu tidak bisa menembusnya Dris.” Kata
ayahku. Ayahku adalah sosok yang tegas dan selalu bulat dalam mengambil
keputusan. Beliau adalah orang yang sangat aku hormati. Kepribadiannya yang
keras sangat cocok dan dilengkapi dengan kehadiran Seorang wanita yang lembut seperti
Ibuku. Ibu adalah tempat aku berkeluh kesah dan menyampaikan masalah.
Aku hanya terdiam mendengar saran dari ayah.
Dari dulu Keinginanku memang sudah bulat ingin melanjutkan ke sekolah umum
seperti kakak-kakakku yang lainnya. Apalagi melihat kondisi Madrasah yang saat
ini sudah sangat terabaikan. Mungkin saja aku bisa bertahan disana, tapi
bagaimana lingkungan disana? Aku tahu pendidikan tentang agama itu sangat baik
tapi bagaimana dengan lingkungan di dalamnya. Lingkungan jelas yang
mempengaruhi bagaimana kita nantinya.
Setelah mengalami perdebatan panjang dengan
hatiku, aku memutuskan untuk meng’iya’kan saran dari ayah. aku mendaftar kesana
dan mengikuti ujian masuk. Rasanya sedikit dilema. Bagaimana jika nanti aku
diterima disini? apakah aku akan bersedia menjalani keingin yang sebenarnya
tidak aku inginkan? aku tetap membulatkan tekat. Allah selalu tahu yang terbaik
untuk umat-Nya walaupun ini merupakan jalan menuju kepada Nya.
***
Pengumuman peneriman siswa hari ini diumumkan
di setiap sekolah menengah di kotaku. Berbeda dengan Madrasah Aliyah yang lebih
dahulu mengumunkan kelulusan penerimanan
siswa baru. Dan Alhamdullillah, aku diterima di sana. Tapi aku masih berharap
bisa masuk SMA. Aku berdesak-desakan dengan orang-orang yang sudah tidak sabar
melihat apakah dia diterima di sekolah tersebut. Aku harap-harap cemas.
Sekolah yang pertama kali aku datangi adalah
sekolah yang sangat aku inginkan untuk memasukinya yaitu SMA Stupa. Aku sudah
tidak yakin akan diterima di sana. Aku takut tidak diterima di Sekolah Idamanku
ini. Aku mendekati papan pengumuman itu. Melihat Nilai SKHU yang paling tinggi.
Di sana tertulis nomor pendaftar, nama peserta dan nilainya. Aku memperhatikan.
Aku melihat nilai teratas yang diterima adalah 9,8. Nilai yang jauh beda denganku
yang hanya memiliki rataan 7,6. Miris. Aku berusaha menguatkan hati dan
berusaha optimis akan diterima. Akhirnya pencarianku sia-sia. Namaku jauh
berada di bawah garis batas penerimaan. Masuk dalam kategori cadangan pun
tidak. Sekilas aku melihat nama Adam berada pada cadangan pertama di papan
pengumuman itu.
Dengan berkecil hati aku meninggalkan tempat
itu dan berlalu menuju sekolah selanjutnya yaitu SMA Dwipa. Sepertinya hal yang
sama juga terjadi di sana. Aku hanya mencoba memasuki kerumunan orang yang
ingin sekali melihat pengumuman itu. Bola mataku berputar dan mencoba
mencari-cari namaku. Aku tak menemukannya. Akhirnya aku berpasrah diri melihat
ke kategori penerimaan siswa cadangan. Aku berada pada barisan ke-lima dari
garis merah. Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Pasrah, lunglai dan tak
bersemangat. Kemana harusnya aku melanjutkan sekolah. Ah, aku masih ada harapan
untuk diterima di sini dan mengapai keinginanku.
Aku melihat beberapa temanku sangat bahagia
dengan kelulusannya di sekolah ini. Berbeda 8jauh dengan nasibku yang sampai
saat ini tidak jelas. Aku harus apa? Untuk menghibur hatiku yang gundah aku
berpikiran baik, mungkin tidak hanya aku yang merasakan hal ini. Masih banyak
yang lain yang nasibnya sama denganku. Aku berusaha tegar.
Pulang dengan wajah muram dan berlalu dengan
tanpa kata di depan ayah duduk di ruang tamu tanpa melihat ke arahnya. Aku
tidak tahu apa yang akan ku sampaikan kepadanya. Rasanya ini semua terlalu
membuatku tidak menjadi apa-apa. Aku merasa gagal, aku tidak bisa
menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah masih ada harapan untukku? Aku merasa
sangat rendah diri.
Ayah sepertinya tahu dengan apa yang aku
rasakan. Beliau mendekatiku. Aku sudah tahu apa yang akan dia tanyakan
kepadaku. “Bagaimana hasilnya dris?”. Aku hanya terdiam tanpa kata. Diam
sejenak dan mencoba menjawab pertanyaan yang sangat aku tidak sukai ini.
“Cadangan yah” jawabku singkat. Hatiku masih belum bisa menerima itu. Aku
selalu berpikir kenapa teman-teman yang tidak belajar saja mampu lulus di sana?
Mereka bisa memilih sekolah yang dia inginkan tanpa harus terkatung-katung
dengan nasib yang belum tentu arah. “Sudahlah, masih ada kesempatan kok. Jangan
cepat menyerah begitu. Ambil hikmah dari kejadian ini. Tuhan lebih tahu yang
terbaik buat umat-Nya”. Nasehat ayahku terasa berat diterima di hatiku.
“Tapi…Banyak dari teman-temanku yang tidak belajar malah dapat memilih sekolah
yang diinginkannya. Sedangkan aku? Untuk memasuki sekolah biasa saja aku hanya
berada dalam kategori cadangan.” Menyampaikan semua yang ada di benak dan
hatiku yang tak mampu lagi kusembunyikan. “Apapun itu, Tuhan lebih tahu nak.
Mungkin apa yang kita harapkan tidak akan langsung terwujud. Semua butuh
proses. Ada yang langsung terwujud sesuai dengan yang kita harapkan, ada yang
diganti dengan yang lebih baik untuk kita atau malah tidak terwujud sama sekali
karena tidak cocok dengan kita. Kita hanya butuh ikhlas”. Biasanya Ayah tak
pernah berpanjang lebar seperti ini. Aku tahu itu benar. Tapi masih ada hal
yang menganjal di sini, di hati ini. Ayah hanya berlalu setelah berucap hal
itu.
***
Malam seperti tahu dengan apa yang aku
rasakan. Hawa dingin dan badai menemaniku malam ini. Seperti hatiku yang luluh
diterpa badai ketidakpastian terhadap nasibku. Aku hanya butuh kepastian. Tapi
siapa yang harus aku salahkan? Dengan berpikir seperti ini aku seperti
menyalahkan tuhan yang tidak adil denganku. Ah, pikiran bodoh! Bukankah ini
juga salahku yang tidak mempersiapkannya dengan maksimal? Bukankah usaha
sebanding dengan hasil? Berarti apakah aku yang belum melakukan itu? Tapi
bagaimana dengan mereka yang tidak berusaha tapi mendapatkan yang mereka
inginkan dengan mudah? Hatiku semakin galau. Hujan mengiringiku dalam peraduan.
Setelah lelah berdebat dengan hatiku, aku terlelap dan berharap saat pengumuman
itu aku mendapatkan hasil yang kuinginkan.
Pengumuman cadangan diumumkan hari ini setelah
para siswa yang telah dinyatakan lulus melakukan pendaftaran ulang di sekolah
tersebut. Aku berharap hari ini mendapatkan kabar gembira. Aku berusaha optimis
dari sebelumnya. Ini kesempatanku yang terakhir. Dua papan besar dengan puluhan
kertas telah ditempel di atasnya. Puluhan siswa yang belum tahu nasibnya
seperti diriku berkerumun di depan papan itu. Seperti anak ayam yang diberi
makan. Berdesak desakkan dengan menaruh harapan namanya tertempel di papan
tersebut. Akhirnya aku bisa menerobos kerumunan itu. Aku meneliti satu per satu
kertas yang ada di papan itu berharap namaku. Aku melihatnya lagi dengan
seksama. Aku tahu nomor urutan itu. Nomor itu dikuti dengan nama pendaftar
‘Muhammad Idris’. Alhamdulillah, aku lulus. Rasanya aku sangat lega dengan hal
ini. Tak pernah aku merasa selega ini. Tak henti-hentinya aku berucap syukur
kepadaNya. Ternyata ayah benar. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatNya. Mungkin
inilah yang terbaik untukku, untuk masa depanku.
Putih
Abu-Abu
“Cepat
sedikit dek! Emang kamu mau jadi model di sini.” Bentak seorang kakak kelas yang
sengaja memasang wajah yang menakutkan. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
Beberapa anak disuruh untuk berjalan jongkok dari gerbang tempat dia berdiri
sampai ke barisan. Suara yang tadinya hanya berasal dari satu kakak kelas
sekarang mulai bersahut-sahutan. Bentakkan demi bentakkan dilontarkan kepada
anak yang terlambat pagi ini.
Sekarang masih jam setengah tujuh pagi, udara
pagi masih menusuk tulang. Aku sengaja datang lebih pagi untuk menghadiri masa
orientasi sekolah (MOS). Berbaris bersama dengan rapi di lapangan untuk
mengikuti upacara pembukaan. Aku masih sempat mencuri pandang ke arah
teman-teman yang dihukum karena terlambat. Terlihat seorang yang sepertinya aku
kenal. Itu adalah Adam. Aku baru sadar kalau dia juga bersekolah di sini.
Kenapa dia mau bersekolah di sini? Aku hanya berniat untuk menyimpan pertanyaan
itu.
“Hei
dek! Perhatikan orang yang sedang berbicara di depan. Kamu bisa kan menghargai
orang yang di depan?” bentak seorang kakak kelas karena melihatku tidak
mendengarkan instruksi ketua panitia di depan lapangan. Aku hanya bergegas
memperbaiki sikap dan berharap tidak mendapatkan teguran lagi. Kadang aku
berpikir kenapa kami harus diperlakukan seperti ini. Memakai aksesoris yang
memalukan dan disuruh berbaris layaknya angkatan perang yang sudah kalah
perang. Dan tidak hanya itu, beberapa kali kami dibentak karena hal yang tidak
jelas bahkan disalahkan tanpa sebab.
Masa
orientasi sekolah merupakan salah satu agenda wajib sekolah bagi setiap siswa
baru sebelum menempuh proses belajar mengajar di sekolah. MOS ini biasanya
dilakukan selama tiga hari. Dwipa juga menerapkan hal yang sama. Akan tetapi
pada tahun ini sepertinya beberapa kegiatan MOS yang tidak bermanfaat mulai
dikurangi. Aku juga berpendapat sama. Kalau dipikirkan, terkadang acara MOS ini
tidak memiliki manfaat nyata bagi kami. Kami hanya dibentak, dimarahi, dihukum
dan hal itu berlanjut setiap harinya. Aku hanya berharap acara ini cepat
selesai dan segera bisa menjadi seorang anak SMA seutuhnya.
***
Hari
pertama sekolah terasa sangat menyenangkan, masa orientasi sekolah telah
berakhir. Aku akhirnya merasa sangat bebas ketika acara ini ditutup dengan
muhasabah bersama. Sejujurnya, beberapa kegiatan ini sangat membuat kami
jengkel walaupun ada beberapa diantara kegiatan yang membuat kesan tersendiri
dan tak ingin melupakannya. Kalau kita berpikiran baik tentang kegiatan ini,
mungkin kita dapat mengambil pelajarannya. Salah satu pelajarannya yaitu
membuat kita semakin kompak, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki mental
yang kuat. Walaupun menurutku hal itu masih bisa disampaikan dengan cara yang
lebih baik.
Seminggu
berjalan tanpa ada hal yang spesial di sekolah ini. Hanya merasa sedikit
berbeda ketika harus memakai seragam putih abu-abu yang dulunya berseragam
putih biru. Aku ditempatkan di kelas X4. Tak ada seorangpun yang aku kenal ketika waktu di MTsN dulu. Aku
mendapatkan kenalan baru di kelas ini. Teman yang pertama kali mengajakku kenalan bernama Daud. Dia berasal dari
SMP unggulan di kotaku. Aku bisa menjadi akrab dengannya karena dia memiliki sedikit kesamaan
denganku. Kami mulai bercerita banyak. Dari kenapa kita memilih Dwipa, membicarakan soal cewek yang
cantik di kelas sampai bercerita tentang yang tidak jelas untuk dibahas.
“Kalau orang yang tercantik di
kelas ya yang jelas dia itu
adalah Tari. Gimana pendapatmu? Coba deh perhatikan baik-baik, bukankah dia itu
mirip artis?” katanya sambil melirik ke arah seorang cewek yang duduk persis di
depan bangku kami.
“Ah, gak juga. Sebenarnya sih emang cantik. Mirip Cinta
Laura bukan? Haha. Tapi bukankah lebih cantikan teman satu sekolahmu yang itu.”
Aku menjawab dengan sedikit ketawa kecil di wajah yang menandakan diriku sedikit malu mengakuinya. Melirik dengan tajam di sudut ruang
kelas yang penuh dengan canda tawa teman-teman yang
masih setia menunggu
kedatangan guru.
“Siapa? Melanie?” tanyanya seolah tahu apa yang aku
pikirkan. Aku hanya tersenyum kecil dan berusaha mengangguk malu. “Ah, kalau
aku mah udah bosen sama tampangnya. Hampir tiga tahun aku sekelas dengannya
waktu SMP dulu. Yah, sebenarnya cantik sih tapi ngebosenin” sambungnya.
Aku tak perlu menghiraukan dia saat berbicara seperti
itu. Ada sedikit rasa tidak senang ketika kita mengagumi seseorang tetapi
ditanggapi berbeda oleh orang lain. Setidaknya aku tak perlu
merasa kesal ketika itu,
beberapa temanku sepakat dengan pendapatku
tadi. Salah satunya Adam, dia bercerita tentang cewek yang cantik di sekolah ini. Dan orang itu salah satunya
Melanie. Semenjak aku melihatnya di acara MOS beberapa minggu yang lalu, aku
sering sekedar bermain ke kelasnya untuk ngobrol-ngalur-ngidul. Adam tidak
lagi sekelas denganku.
Walaupun kami masih bisa
berada dalam satu sekolah, yaitu sekolah
yang tidak sesuai dengan impian yang kami ungkapkan dulu.
Masalah cewek menjadi topik yang hangat waktu pertama
kali memasuki masa putih abu-abu. Mungkin masa putih
abu-abu lah yang tepat untuk menggambarkan suasana ini. Suasana keingintahuan
dalam segala hal. Kami tidak hanya berganti celana dari biru menjadi abu-abu,
tapi kami juga berganti pola pikir dari seorang anak-anak menjadi remaja.
Abu-abu, warna yang tidak putih dan tidak hitam. Warna yang diibaratkan penuh
tanda tanya dan ketidakjelasan. Di sini adalah masa kami untuk mencari tahu
jati diri kami, mencari kesenangan kami, mencari sesuatu yang menarik buat
kami, salah satunya masalah cinta.
Masalah
cinta dan lawan jenis merupakan dua hal yang berbarengan yang ingin sekali
diketahui. Aku pun tidak tahu kenapa hal ini merupakan hal yang paling menarik
untuk dibahas saat ini. Apakah karena dampak siaran TV yang bisa merubah pola
pikir kami sehingga menjadi seperti ini? Atau apakah memang kami sudah merasa
dewasa dan harus mengetahui lebih dalam soal cinta? Aku tak menemukan
jawabannya. Yang aku tahu hanya semua ini salah satunya ditimbulkan dari
tayangan FTV atau Sinetron remaja yang mengajarkan tentang masalah percintaan remaja.
Masalah percintaan yang akhirnya merasuk ke bagian otak dan diproses di dalamnya sehingga
menghasilkan anggapan yang seperti itu.
***
“Kayaknya aku belum merasa maksimal deh dengan
ujian kemaren.” Kata salah satu siswa yang berdiri di taman sekolah yang berada
di depan ruang majelis guru. Percakapan dengan seorang temannya ini terdengar
jelas di telingaku ketika aku berjalan untuk menyerahkan berkas tugas ke meja
piket. Aku tahu apa yang sedang mereka ceritakan. Pasti mereka sedang bercerita
tentang ujian yang diselenggarakan sekolah pada hari minggu kemarin. Ujian penentuan
kelas. Di dwipa, tahun ini mulai menerapkan sistem kelas RSBI dan SSN sehingga
kami para siswa harus bisa memenuhi standar. Salah satunya dengan mengikuti
ujian penentuan kelas. Bentuk ujian penentuan kelas ini dibagi menjadi tiga
sesi ujian. Ujiannya yaitu ujian akademik, tes IQ dan ujian pelajaran agama.
Semenjak
diterima di Dwipa, aku tidak terlalu tertarik untuk mengurusi hal yang semacam
itu. Aku hanya sekedar mengikuti semua kegiatan di sekolah ini tanpa ada
motivasi untuk menjadi bermanfaat bagiku. Aku berada di bawah rata-rata orang.
Di kelas pun aku hanya sekedar mendengarkan guru-guru yang silih berganti
mengajar tanpa ada semangat untuk mengikuti pelajarannya. Apakah ini bentuk
protesku kepada diriku sendiri? Mungkin saja. Tapi, masih adakah sedikit rasa
syukurku ketika memasuki sekolah ini? Entahlah.
***
Bel
tanda istirahat sudah berbunyi, suasana kelas yang sudah gaduh terasa semakin
ramai. Beberapa anak kelihatan sudah tidak sabar untuk keluar dari kelas.
Begitu juga denganku. Pikiranku semenjak dari tadi siang sudah berada di luar
kelas, bukan karena aku terlalu malas belajar pelajaran fisika tapi memang
karena perutku yang sudah tidak tahan lagi menunda lapar. Di luar kelas
aku melihat sahabatku sudah setia
menungguiku di teras depan kelas. Aku dan Adam hampir setiap harinya saling
bertemu dan bercerita bersama menghabiskan waktu istirahat. Aku bergegas
menyusulnya ketika guru fisika mengakhiri kelas siang ini.
“Sudah
lihat pengumuman tentang pembagian kelas Yuang?”
Tanya Adam kepadaku. Kata ‘Yuang’
merupakan sapaan akrab kami ketika melakukan percakapan dengan bawaan santai.
“Emang
sudah keluar ya? Kamu sudah lihat?” jawabku santai tanpa terlalu peduli dengan hasil
yang aku terima nantinya. Aku bisa membaca wajahnya yang sedikit tertarik
dengan penentuan kelas ini.
“Tadi
waktu aku lihat, sepertinya aku berada di kelas X1. Aku juga menemukan nama
teman-teman satu kelas waktu di MTsN dulu deh. Nama Ihsan dan Arsal juga ada di
kelas itu. Tapi tadi aku tidak melihat namamu di kelas yang sama. Sepertinya
kita tidak satu kelas lagi dris. Kamu mau lihat langsung? Ayo aku temanin.”
Ajak Adam.
Aku
hanya mengangguk tanpa terlalu banyak basa basi. Rasa laparku sepertinya
sedikit hilang karena rasa penasaran yang sekarang menyelimuti hatiku. Sedikit demi
sedikit rasa ketidakpedulianku terhadap hasil ujian itu semakin pudar. Kelas X1
merupakan kelas unggulan yang ada di Dwipa, katanya kelas itu akan difasilitasi
oleh sekolah dan dibina sehingga menjadi kelas RSBI. Apalagi ketika mendengar
nama-nama teman sekelasku di MTsN Model dulu sekarang berada dalam satu kelas.
Rasanya aku menemukan fantasi rasa yang berbeda. Ah, perasaan macam apa ini?
Apakah aku berharap ingin berada di kelas yang sama? Pikiran bodoh dan
ketidakpedulianku yang dulu aku ungkapkan sekarang mulai menjadi penyesalan.
Penyesalan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Di
papan pengumuman aku hanya mendapatkan apa yang aku terima dari Adam tadi.
Namaku berada di kelas X2. Kelas yang berada di urutan kedua setelah kelas
Adam. Rasa iri dan sesal perlahan muncul di palung hati ini. Aku kembali merasa
selalu kalah dengan Adam. Selalu tidak lebih beruntung dari Adam. Dia adalah
salah satunya tolak ukur kemampuanku. Dialah motivasi terbesarku untuk menjadi
lebih baik. Keinginan untuk melampauinya tidak pernah terwujud. Ini memang
salahku. Aku terlalu berlarut-larut dengan kesalahan yang aku perbuat ketika
memasuki SMA ini. Orang gagal tidak selamanya menjadi gagal kalau diimbangi dengan
usaha. Aku kembali kalah untuk kedua kalinya. Aku hanya menatap kosong papan
pengumuman itu dengan diiringi bel masuk yang memanggilku untuk kembali ke
kelas. Aku tahu apa yang aku rasakan saat ini. Penyesalan. Adam sepertinya
tidak terlalu mau ikut campur dengan pergolakan hatiku. Dia hanya berusaha
menghiburku. Dia tahu ketika aku merasa galau. Rona wajahku jelas berubah
ketika melihat pengumuman itu. Aku hanya berucap kalau aku bisa memperbaiki ini
semua nanti.
Going
The Extra Miles
R asa
penyesalan dalam diriku semakin menjadi. Aku melewati hari sesalku dengan beban
di hati. Kelas yang sekarang hanya dipenuhi dengan rasa curiga dan gagal. Aku
belum temui kebahagian di awal perjalanan kelas ini. Beberapa hari aku hanya
merenung. Terkadang kulirik kelas sebelah yang sepertinya lebih nyaman dan
tenang. Ragaku ingin berada di kelas itu. Berada di sekitar mereka. Beberapa
hari ini aku jarang bertemu dengan Adam. Aku tak tahu apa aku yang menghindar
atau dia yang terlalu sibuk dengan kelas barunya. Aku hanya berlagak tidak
peduli.
Terkadang rasa ketidakpuasan terhadap diri
mampu memberikan motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik, dan berusaha
untuk melupakan kesalahan dan kegagalan yang telah diperbuat. Berpuas diri
dengan keadaan hanya akan mengurangi potensi dan usaha untuk mendapatkan yang
terbaik. Sekarang aku menyadari itu dalam benakku dengan cernaan perasaan yang
sedikit bisa aku pahami. Aku menginginkan posisi seperti mereka. Aku ingin
membuktikan aku pantas berada di dekat mereka. Pembuktian itu akan aku buktikan
dengan caraku sendiri. Dengan cara yang hanya terpikirkan olehku sendiri. Aku
akan berusaha diatas orang-orang yang berada di kelas ini. Aku pasti bisa.
***
“Itu jawabannya SALAH!
Seharusnya kan ga kayak gitu. Kalo mau melakukan faktorial harus dikalikan lagi!
lagian itu kenapa x kuadratnya jadi seperti itu?” teriakan seorang cewek yang
berada di bangku depan kelas saat aku mengerjakan beberapa soal matematika yang
diberikan oleh guru kami yang berhalangan hadir pada hari ini.
“Lalu gimana?” jawabku
singkat dengan sedikit sebel terhadap sanggahannya.
“mana aku tahu, kerjain
aja sendiri. Katanya pinter...seharusnya kan tahu cara pemecahan yang benar,
aku mah cuma mau ngingetin doang.” Dia kembali mengoceh dengan nada mengejekku.
Aku tahu dia selalu saja seperti itu di kelas. Selalu menjadi orang sok pintar
dan tahu segalanya. Mendengar kata-kata tadi aku sedikit emosi dan melemparkan
spidol yang aku pegang ke mejanya, mungkin ini bukan kali pertama dia bersikap
seperti itu. Spidol yang tadi aku lempar membuatnya sedikit kaget dan takut
dengan keadaan ini. Aku memang sangat jarang membentak seorang cewek di depan
orang banyak mungkin ini kali pertama aku melakukan hal seperti ini, ingin
rasanya aku memukulnya kalo bukan seorang perempuan.
“Kalo emang tahu gimana
ngerjainnya seharusnya kamu berbagilah dengan teman lain bukan malah mengejek
gitu. Aku tahu kamu pinter, tapi jangan suka ngeremehin orang kayak gitu dong.”
Nada suaraku meninggi dan kembali ke bangkuku. Beberapa teman-teman di kelas
hanya memperhatikan kejadian dan mulai berbisik-bisik satu sama lain seperti
penasaran dengan apa yang telah terjadi tadi.
Kelas masih saja ribut,
beginilah suasana kelas kami ketika tidak ada guru. Soal matematika yang tadi
aku kerjakan di depan kelas masih tertulis utuh di papan tulis, tidak ada yang
kembali mau melanjutkannya bahkan cewek yang tadi menyanggahku. Nama cewek itu
adalah Tirta, dia anak paling pinter di kelasku. Sejak pertama kali bertemu
dengannya aku sudah mulai tidak menyukainya karena sifatnya yang menyebalkan.
Sejujurnya mungkin karena kita berdua memiliki sifat yang sama sehingga tidak
pernah bertemu dalam satu garis. Dia sama keras kepalanya denganku, tidak mau
kalah dan ingin semuanya sempurna. Mungkin kejadian tadi tak akan terjadi
jikalau dia tidak meremehkan orang dan lebih tahu cara menghargai hasil kerja
orang lain. Aku mengerjakan soal tadi juga karena tujuannya untuk berbagi
dengan temen-temen lain yang merasa kesulitan mengerjakannya. Dulu mungkin aku
tidak peduli dengan kelakuannya yang sering kali unjuk diri ke depan publik
dengan menjawab berbagai pertanyaan guru dan terlihat pintar di depan
teman-teman kelas meskipun aku selalu berpikir memangnya hanya dia yang bisa
melakukan itu, banyak teman-teman lain di kelas yang bisa. Tapi, semenjak
kejadian tadi aku dan dia selalu merasa kita adalah saingan di kelas untuk
mendapatkan posisi terbaik di kelas. Meskipun pada akhirnya aku mengakui
kegigihan dan ketekunannya dalam belajar. Dia anak yang rajin dan pantang menyerah.
Tanpa sadar aku sering memperhatikan kelakuannya.
***
Tidak terasa hari berlalu semakin cepat,
hampir mendekati satu semester di kelas ini. Walaupun dalam perjalananku aku
selalu merasa harus mengejar target untuk segera membuktikan keberadaanku di kelas
dan segera diakui oleh orang-orang di sekitarku bahwa aku bukanlah orang yang
gagal. Semenjak kejadian pertengkaranku dengan cewek yang menyebalkan itu, aku
terus berusaha untuk lebih menonjol dibandingkan teman-teman yang lainnya di
kelas. Beberapa guru telah mulai mengenalku dan aku baru tahu beberapa orang
guru sering bercerita tentang diriku di kelas sebelah yaitu di kelas anak
unggulan dan hal ini semakin memotivasiku untuk menjadi lebih baik lagi.
Sebenarnya bukan hanya aku yang sering diceritakan di hadapan anak-anak kelas
unggulan itu tetapi juga si cewek menyebalkan di kelasku. Aku baru
mengetahuinya setelah Ihsan menceritakannya kepadaku.
Ihsan merupakan salah
seorang teman dekatku saat dulu berada di MTsN Model selain Adam. Aku dan Ihsan
memang sering bertemu semenjak dia pindah ke kelas anak unggulan. Awalnya Ihsan
sering mengeluh kepadaku terhadap suasana kelasnya yang sekarang tidak sama
dengan suasana kelas di X.10nya dulu. Anak-anak di kelas sekarang ga terlalu
mengasyikan dibandingkan kelasnya dulu dan dia sering kbmbermain ke kelas
lamanya bahkan dia berniat pindah kembali ke sana, tapi sepertinya tidak bisa
karena kebijakan sekolah yang harus diikuti untuk tetap berada di kelas
unggulan.
“Aku sedikit males dengan
Bu Laila yang selalu suka ngebandingin kelas kami dengan kelas-kelas lainnya.
Memangnya setiap hal yang kita lakukan harus selalu lebih baik dibandingin
kelas lain ya.” Curhatannya kepadaku. Aku hanya membalas dengan senyuman dan
terus mendengarkannya bercerita kembali. “Eh, tapi nama kamu sering di sebut
loh kalo di kelasku. Selain itu ada seorang teman kelasmu yang sering
dibangga-banggain oleh Bu Laila. Kalo ga salah namanya Tirta. Emangnya apa sih
yang kalian lakuin sampai si Ibu ngebanggain kalian segitunya. Lagian kayaknya
aku lebih pinter dari kamu deh. Hahaha”. Dia mengakhiri kata-katanya dengan
candaan dan menepuk pundakku. Kami hanya tertawa bersama dan sambil bercerita
tentang hal lainnya.
***
“Tahu ga kalo kelas unggulan akan dirombak lagi?” kata
seorang anak cewek yang sedang asyik bercerita dengan teman-teman di depan
koridor sekolah. Aku menghampiri dan penasaran dengan cerita anak-anak
tersebut. “Iya, katanya kelas tersebut akan dirombak lagi. Aku tahu dari cerita
teman kelasku yang merupakan anak wakil kepala sekolah. Katanya kalo nanti, di
semester ini nilai beberapa anak yang ada di kelas tersebut tidak memenuhi
standar maka mereka akan dikeluarkan dari kelas unggulan tersebut dan
digantikan oleh anak yang memiliki nilai yang bagus dari kelas lain dan
direkomendasikan oleh guru yang ada di sekolah ini.” Sambung seorang anak
lainnya. Dalam hatiku, aku seperti mendapatkan sebuah kesempatan dan secercah
harapan untuk dapat membuktikan keberadaanku di Sekolah ini. Aku dapat menembus
kegagalan-kegagalan yang aku perbuat sebelumnya. Aku bergegas kembali ke kelas
dengan menaruh harapan untuk diri ini kembali di akhir semester.
***
Kita
Juga Bisa!
Ujian semester telah selesai, sekolah akan segera
memasuki semester baru setelah libur usai. Beberapa anak telah tak sabar menunggu
waktu untuk libur dan segera melepas kepenatan bergelut dengan buku-buku
pelajaran di sekolah. Bagiku aku lebih tak sabar menunggu waktu pengumuman
peringkat kelas dan memulai semester baru dengan sebuah harapan. Aku telah
berusaha sesuai dengan kemampuanku di semester ini untuk dapat mencapai target
yang telah aku rencanakan. Walaupun dalam proses melewatinya tidak selalu
sempurna, aku sering tidak serius belajar dalam kelas, mengobrol dengan teman
sebangku, ataupun melakukan hal gila lainnya seperti anak SMA pada umumnya. Aku
menyadari dalam semester ini bahwa aku sangat lemah dengan satu mata pelajaran
yaitu fisika. Aku tidak pernah menyukai pelajaran ini sejak mengenalnya di
bangku SMP. Hal ini berbeda jauh dengan sainganku yaitu si cewek menyebalkan.
Dia selalu jago dalam hal memecahkan soal-soal rumit fisika dan matematika. Aku
memang mengakui kemampuannya untuk pelajaran
Eksak, tapi jangan salah kalo untuk pelajaran sosial dan biologi aku
adalah bintangnya di kelas. Semenjak pertengkaran dengannya dulu aku selalu
menjadikan dia sebagai tolak ukurku untuk dapat berusaha lebih baik lagi di
kelas.
Hubunganku dengan dia mulai membaik meskipun dalam setiap
kali percakapan selalu saja berdebat, beradu argumen dan mempertahakan ego
masing-masing. Keadaan ini sudah cukup baik untuk memulai kembali pertemanan
dan mengakhiri pertengkaran ini. Aku baru tahu kalau dia tidak seburuk yang aku
pikirkan. Dia ternyata juga merupakan teman dekat dari temanku Aisya. Beberapa
kali kita tanpa sengaja kita sering pulang barengan karena dia bersama Aisya
setelah sekolah usai walaupun sering kali juga di tengah jalan aku dan dia
saling memojokan satu sama lain dan Aisya sebagai penengahnya. Bagiku kejadian
ini adalah pelajaran untuk kita dapat mengenal orang lebih dekat tanpa
menghapus semua kebaikannya dengan keburukan yang telah dia lakukan. Aku
menjadi orang yang dapat lebih mencoba untuk memahami orang lain bahwa tidak
semua hal yang dilakukan oleh orang yang tidak disukai menjadikan dirinya
bukanlah orang baik, ternyata dia lebih baik dariku dalam beberapa hal dan aku
menghargai itu.
***
Semester baru telah tiba, pengumuman peringat kelas pun
sepertinya sudah tidak terlalu menjadi masalah lagi. Meskipun aku hanya berada
di posisi nomor 2 di kelas, tapi aku selalu bersyukur karena menurutku si cewek
menyebalkan itu memang lebih baik dan pantas untuk peringkat satu di kelas
dibandingkan aku. Selain itu, mungkin hal ini dapat aku terima karena di
semester ini aku harus melakukan remedial untuk ujian fisika meskipun aku tahu
setelah remedial nilaiku akan lebih baik daripada Tirta tapi bukan berarti aku
tak mengakui dia lebih baik. Dia jauh lebih rajin dan pinter daripada aku.
“Idris, Tirta bisa ikut ibu ke ruang majelis guru
sebentar.” Sebuah suara datang dari depan pintu kelas. Aku dan Tirta saling
melirik sambil heran sekaligus bingung kenapa dipanggil ke ruang guru. Tidak
mungkin guru mempermasalahkan masalah pertengkaran dan saling ejekan kami. Kami
meminta ijin keluar ke Guru Sosiologi yang sedang menjelaskan norma-norma
sosial. “Kira-kira kenapa kita dipanggil ya?” tanya Tirta kepadaku. “Mana aku
tahu.” Jawabku. Kami selau seperti itu, selalu saling membuat satu sama lain
sebel.
Akhirnya kami sampai di ruang Guru, ada beberapa anak 3
anak lainnya yang sudah duduk di ruang tersebut. Salah satu diantaranya aku
mengenal anak tersebut dia adalah Nisa. Dia merupakan teman sekelas dan teman
pramukaku di MTsN dulu. Guru yang memanggil kami ke sini tadi adalah Ibu Laila.
Dia merupakan guru matematika yang sering diceritakan Ihsan. Ibu tersebut
memiliki cara berbicara yang khas dan terkadang terdengar agak kurang jelas di
telinga karena suaranya seperti tertahan di hidung. Beliau memberitahu kami
bahwa kami harus menggantikan beberapa anak yang ada di kelas unggulan dan kami
disuruh untuk mulai hari ini atau besok sudah bisa bergabung dengan kelas anak
unggulan. Dalam hatiku aku berkata “Akhirnyaaa...”
***
“Dris, Yakin bakalan pindah ke kelas itu?” tanya Nisa
kepada. “Yakin. Emang kenapa Nis? Lagian di sana juga banyak teman-teman kelas
kita yang lama kan ada di sana. Ada Adam, Ihsan, Mutia dan Arsal di sana.” Aku
meyakinkan diriku untuk dapat segera bergabung dengan teman-teman sekelas dulu
waktu di MTsN Model dulu. “Tapi tahu ga kalo anak-anak di kelas tersebut
menentang kehadiran kita di kelas tersebut loh. Malah mereka mau protes katanya
tidak mau kalo teman-temannya digantiin sama kita. Lagi itu aku denger sendiri
kok waktu Ihsan dan teman-teman ngobrol di mushalla waktu shalat. Trus katanya
mereka ga bakalan terima kehadiran kita dan membuat kita ga nyaman di kelas
itu.”
Komentar
Posting Komentar