Tulisan 2011, File lama!

Di tengah KKP ga sengaja buka-buka file-file laptop eh ternyata ketemu sebuah file yang dibikin tahun 2011 pas pertama masuk IPB kalo ga salah. Dan pas buka isinya tentang cerita memulai waktu SMA bersama AIA AKA dan alur ceritanya flashback dari pertama masuk SMA. Hmm..hasil tulisannya tidak terlalu jelek saat ditulis di tahun 2011.  Sekarang masih ragu mau ngelanjutin ato ga. hehe.

Dilema Hari dan Kenangan
Bogor, 27 juni 2011
Awan bergumpal di langit kota yang sejuk ini, hujan seperti segan untuk turun meskipun kota ini disebut dengan kota hujan. Gerimis mulai menemani perjalanan panjangku ke sini. Gagang koper yang masih kupegang erat di tangan. Ember, bantal dan guling pun setia menemani perjalananku. Aku masih tak menyangka aku berada di sini hari ini.
"Assalamua'laikum, Selamat datang. Mau registrasi kamar?" kata seorang laki-laki yang jelas dari raut wajahnya selalu nampak ceria. Umurnya tidak jauh beda denganku. "Boleh lihat suratnya?". Aku memberikan kertas yang tadi kudapat dari registrasi sebelum masuk asrama ini. Aku masih merasa setengah sadar ketika berada di salah satu gedung dari tiga gedung dalam kompleks Asrama Putra di Institut ini. Aku telah sampai di sini. Dan akan memulai kehidupan baru di sini.
"Muhammad Idris. Benarkan?" aku tak mengacuhkan panggilan itu dan terdiam memperhatikan keadaan sekitar.  pria itu kembali bertanya kepadaku yang membuat aku tersadar dari lamunan. Dia memanggil namaku setelah mengecek daftar nama berdasarkan surat yang aku berikan kepadanya. “Perkenalkan, saya Altar. Saya merupakan Senior Resident  atau SR di Asrama C1 ini. SR itu adalah sebutan untuk kakak tingkat yang akan menjadi penanggung jawab teman-teman selama berada di sini”. dia menjabat tanganku. Aku hanya mengangguk-angguk kecil.
"Silahkan, Ini kunci kamar dan pin angkatan baru. Untuk kamar 25 Lorong 3 berada di sebelah sana, silahkan ikuti saja lorong itu". Dia menunjuk ke arah kananku.
"Iya, terima kasih kak" jawabku sambil menoleh ke arah yang dimaksud.
***
Gedung C1,  gedung yang akan aku tempati untuk setahun ke depan. Ini sesuai dengan aturan kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa baru wajib tinggal di asrama kampus. Asrama itu disebut dengan Asrama TPB. Asrama ini terdiri dari Asrama Putri dan Asrama Putra. Asrama Putri dalam area dalam kampus yang terletak lebih dekat dengan jalan raya di luar kampus. Sedangkan untuk Asrama Putra berada di pinggir lingkungan kampus, tepatnya di belakang gerbang kampus. Asrama Putra (Astra) memiliki 4 gedung dengan satu gedung terpisah dari kompleks astra. Setiap gedung bernama C1, C2, C3 dan C4 (Sylva) . Dan setiap  gedung memiliki ciri bangunan yang sama. Begitu juga dengan Asrama Putri (Astri). Walaupun jumlah gedung Astri lebih banyak dibandingkan Astra, yang terdiri dari A1, A2,A3,A4 (Rusunawa), A5 (Sylva).
Regitrasi Asrama sudah dimulai semenjak siang tadi. Para penghuni asrama baru sudah sibuk dengan kelengkapan barangnya. Begitu juga denganku. Aku hanya memperhatikan kesibukan orang-orang yang mungkin saja bisa aku ajak untuk berteman. Tapi niat itu tak terlaksana karena sifatku yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku masih merasa janggal. Aku berdiri memegang gagang koper yang telah aku tarik kesana kemari bersama barang-barang lainnya.
Setelah mendapatkan kunci kamar yang diberikan kakak yang tadi, aku langsung bergegas menuju kamar yang telah ditunjukkan lokasinya. Langkah demi langkah aku telusuri di gedung ini. Gedung ini sangat janggal bagiku. Ini pertama kalinya aku melihat bangunan yang terdiri dari banyak kamar. Setiap kamar saling berhadap-hadapan sehingga membentuk lorong yang menjadi jalan diantara kamar-kamar itu. Di setiap pintu kamar dilabeli dengan nomor sesuai dengan urutannya.
Aku kembali mengecek surat dan kunci yang diberikan kakak tadi. Di kertas itu tertuliskan Gedung C1 kamar 25. Aku memperhatikan satu per satu label nomor kamar yang terpajang di depan pintu kamar tersebut. Lorong yang aku lewati itu dimulai dengan kamar 11. Aku mengeja dan memperhatikan dengan seksama. Di sepanjang jalan yang aku lewati, penghuni asrama sibuk memberesi kamarnya masing-masing bagi yang telah menemukannya. Ujung dari lorong ini telah aku lalui. Di ujung itu terdapat beberapa kamar mandi yang juga berjejer seperti kamar tadi, yang membedakannya hanya kamar mandi itu lebih kecil dan terletak di sudut lorong.
Lorong tadi itu disebut dengan lorong 2. Sekarang aku berbelok dan memasuki lorong 3  yang nantinya akan menjadi lorongku. aku kembali mengeja nomor-nomor kamar tersebut. ‘kamar 25’. Kamar ini yang aku cari. Aku membuka gagang pintu dan mencoba membukanya. Pintunya tidak mau terbuka. Sepertinya belum ada orang di dalamnya. Kabarnya setiap kamar akan di isi tiga sampai empat orang dan aku adalah orang pertama yang membuka kamar 25 ini. Aku mengeluarkan kunciku dan membuka pintu kamar.
Aku memasukinya sambil mengucapkan salam. Hawa di kamar ini sangat sejuk karena jendelanya berhadapan langsung dengan pepohonan yang rimbun. kamar ini mungkin sudah satu sampai dua minggu ditinggalkan oleh penghuni lamanya yaitu kakak angkatan tahun kemarin. Di dalam kamar terdapat sepasang tempat tidur yang bertingkat, empat buah meja belajar dan empat buah lemari yang bersambung. Kamar ini masih bersih. Mungkin sengaja dibersihkan sebelum kamar ini ditinggalkan penghuni sebelumnya. Hal itu jelas terlihat dari sisa-sisa pengumuman untuk kebersihan dan kelengkapan kamar yang terpampang di depan kamar ini.
Inginku lepaskan penat dan langsung berbaring di atas kasur yang ada di dipan. Tapi hal itu kuurungkan terlebih dahulu, karena masih belum di alasi dengan seprai. Aku membuka koper dan menyiapkan apa saja yang perlu disiapkan. Memasang seprai, memasukan barang ke dalam lemari dan membersihkan tempat yang agak sedikit berdebu.
Tok...tok...tok..” itu bunyi pintu yang juga diiringin dengan salam. Pintu pun terbuka. Ada seseorang yang memasuki kamar ini. Mungkin dia kamar sekamarku untuk setahun ke depan. Dan itu benar. Aku menyapanya dan dia balik menyapa.
“Hi, Aku idris. Aku dari Pariaman. kamu? Kita satu kamar ya” sapaku.
“Ya, Aku Bilal dari Jakarta. sudah lama ya? tanyanya basa basi.
Percakapan kami dimulai dengan kalimat-kalimat canggung seperti itu. Walaupun disadari dalam setiap percakapan lebih banyak jedanya tapi setidaknya kamu telah melakukan dua orang beru kenal. Bilal berasal dari Jakarta sedangkan aku dari Pariaman. Awalnya aku berpikir Bilal akan bertanya tentang Pariaman atau sebagainya. Tapi ternyata dia tidak banyak omong sama sepertiku. Padahal kalau saja dia bertanya tentang kotaku pasti, aku akan menceritakannya sedikit. Mungkin saja dia sudah tahu sehingga tidak mempertanyakannya lagi. Karena akhir-akhir ini Pariaman sedikit terekspos di media karena merupakan daerah rawan gempa di Sumatera Barat.
***
Adzan maghrib telah mengema. Suasana asrama sepertinya belum terasa begitu ramai. Tapi sebagian hatiku masih tertinggal tentang masa lalu. Apakah aku siap dengan kehidupanku yang sekarang. Aku merenung kecil di akhir sujudku. Ini adalah keputusan yang kubuat. Tapi kenapa rasanya begitu berat ketika memikirkannya. Rasa sesak. Aku bahagia ketika memulai hari ini, tapi di sisi yang lainnya hatiku berat memulainya. Aku hanya terdiam kaku di kamar ini. Kadang aku hanya bertanya pada diriku tentang apa yang sebenarnya aku ingin. Aku tak mengerti diriku sendiri.
Rasanya hari pertamaku di asrama diliputi rasa yang tak menentu. merasa sangat sedih dan terkadang tersenyum kecil di balik hati. Aku sebenarnya tidak mau memperturutkan perasaan ini, tetapi hal itu masih saja merasuki pikiranku. Malam telah tiba, aku dan Bilal masih berada di dalam kamar. Kami hanya sibuk dengan diri masing-masing. Sampai aku lihat Bilal telah tertidur di tempat tidurnya. Aku tak bisa tidur. Aku berusaha untuk memejamkan mata ini, tapi tetap saja tidak bisa. Aku mencari sesuatu yang dapat aku kerjakan. Aku tahu, Aku tahu yang akan aku kerjakan ketika merasakan hal seperti ini. Pekerjaan yang dapat menghilangkan sedih dan bebanku sejenak yaitu diariku. Aku keluarkan buku yang bertuliskan “SIAPA SAYA?” disampul buku itu, dan aku mencoba untuk menulis yang terjadi hari ini. Tapi...hatiku berkata lain. Aku tak ingin menulis hari ini, aku hanya ingin membaca kejadian yang telah terjadi kepadaku dulu.
Aku membuka buku itu dari awal dan aku membacanya dengan perlahan. Satu, dua dan tiga kalimat aku selesaikan. Aku kembali terbawa dengan kenangan masa-masa itu. Aku kembali masuk ke dalam kejadian itu.









Kesempatan Selanjutnya
Pariaman, 2008
Dilema di hati semakin menusuk ke ubun-ubun otakku. Mungkin tak hanya aku yang menghadapi hal yang sama. Sebagian besar temanku bernasib sama. Terkatung-katung mencari sekolah yang sesuai dengan keinginan tetapi terkendala dengan nilai yang tidak memungkinkan mencapainya.
Aku baru saja lulus dari MTsN Model di kotaku dengan nilai pas-pasan. Rataan nilai 7,5 tidak cukup bagus untuk memasuki sekolah yang diinginkan. Hal itu tak hanya dirasakan oleh aku seorang diri. Hampir sebagian besar teman sekelasku bernasib sama. Berbeda halnya dengan teman kelas lain yang mendapat nilai rataan yang besar 8 sampai 9 ke atas. Padahal kelas kami merupakan kelas unggulan di sekolah, tapi apa yang terjadi? Apa karena kami terlalu memandang remeh ujian sehingga kalah dari yang lain? Kami rasa tidak. Sampai saat ini aku hanya mengubur pertanyaan itu yang sebenarnya sudah kutemukan jawaban. Semua orang tahu apa yang terjadi dengan ujian penentuan kelulusan itu. Ujian Nasional itu!
Aku telah mengunjungi semua Sekolah Menengah yang berada di kotaku. Berharap aku dapat lulus  dan terdaftar di sana. Berbagai ujian saringan aku ikuti. Aku sudah meniatkan untuk memasuki Sekolah Umum setelah lulus dari sekolah agama. Setelah memantapkan ilmu agama maka ini saatnya melanjutkan ilmu yang umum . Aku tahu ini pendapat tidak terlalu baik. Menuntut ilmu dunia dan akhirat itu diwajibkan oleh Allah. Sedikit menyesal dengan anggapan banyak orang bahwa sekolah umum lebih baik daripada sekolah agama. Aku melihat banyak orang memilih Sekolah agama sebagai pilihan terakhir. Sekolah yang hanya dijadikan cadangan dan terabaikan. Sungguh miris. Terkadang karena anggapan itu aku sedikit malas untuk melanjutkan pendidikanku ke sekolah agama walaupun aku lulusan MTsN.
***
 Aku masih ingat kejadian ketika aku berbagi impian tentang masa depan bersama Adam di Mesjid Piaman. Mesjid Piaman yang terletak di Pusat Kota Pariaman yang merupakan tempat kami menghabiskan waktu dan saling berbagi cerita sehabis pulang sekolah. Berbagi tentang masa depan yang kita inginkan. Aku menceritakan apa yang aku inginkan. Keinginanku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin melanjutkan sekolahku di Sekolah Menengah di Kota Pariaman. Karena orang tuaku juga lebih setuju aku melanjutkan ke sana. sedangkan Adam selalu bercerita bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di SMA terbaik di Kota Padang.  Dan kami  ingin keinginan ini terwujud.
Adam adalah anak dari keluarga yang berkecukupan. Memiliki tubuh yang sedikit kurus tetapi kalau dibandingkan dengan diriku, aku jauh lebih kurus daripadanya. Berparas diatas rata-rata yang membuat semua wanita akan melirik kepadanya. berperawakan rapi dan berkulit putih mulus, selayaknya perawakan anak orang kaya seperti di film-film FTV. Yang kadang membuatku iri kepadanya dalam segala hal. Aku selalu ingin melampauinya dan kadang terbesit ingin seperti dirinya. Aku adalah anak dari keluarga sederhana, semua kebutuhan tercukupi meskipun pas-pasan. Wajahku tak seganteng Adam dan selalu merasa minder kalau berurusan kondisi fisik.
Sepertinya impian-impian kita ketika di mesjid itu tidak berjalan dengan semestinya atau sesuai keinginan. Nilaiku tidak menjadi syarat masuk sekolah favorit yang telah kuidamkan sejak dulu. Aku terpaksa mencari alternatif dengan mendaftar di sekolah lain yang peluangnya lebih besar. Begitu halnya dengan Adam. Nilainya sedikit lebih tinggi dibandingkan nilaiku. Walaupun nilai itu tidak cukup besar untuk bersaing di SMA favorit di Kota Padang.
“Cobalah mendaftar di Madrasah Aliyah yang ada di kota kita ini dulu. Kalau melihat kondisi seperti ini sepertinya nilai kamu tidak bisa menembusnya Dris.” Kata ayahku. Ayahku adalah sosok yang tegas dan selalu bulat dalam mengambil keputusan. Beliau adalah orang yang sangat aku hormati. Kepribadiannya yang keras sangat cocok dan dilengkapi dengan kehadiran Seorang wanita yang lembut seperti Ibuku. Ibu adalah tempat aku berkeluh kesah dan menyampaikan masalah.
Aku hanya terdiam mendengar saran dari ayah. Dari dulu Keinginanku memang sudah bulat ingin melanjutkan ke sekolah umum seperti kakak-kakakku yang lainnya. Apalagi melihat kondisi Madrasah yang saat ini sudah sangat terabaikan. Mungkin saja aku bisa bertahan disana, tapi bagaimana lingkungan disana? Aku tahu pendidikan tentang agama itu sangat baik tapi bagaimana dengan lingkungan di dalamnya. Lingkungan jelas yang mempengaruhi bagaimana kita nantinya.
Setelah mengalami perdebatan panjang dengan hatiku, aku memutuskan untuk meng’iya’kan saran dari ayah. aku mendaftar kesana dan mengikuti ujian masuk. Rasanya sedikit dilema. Bagaimana jika nanti aku diterima disini? apakah aku akan bersedia menjalani keingin yang sebenarnya tidak aku inginkan? aku tetap membulatkan tekat. Allah selalu tahu yang terbaik untuk umat-Nya walaupun ini merupakan jalan menuju kepada Nya.
***
 Pengumuman peneriman siswa hari ini diumumkan di setiap sekolah menengah di kotaku. Berbeda dengan Madrasah Aliyah yang lebih dahulu  mengumunkan kelulusan penerimanan siswa baru. Dan Alhamdullillah, aku diterima di sana. Tapi aku masih berharap bisa masuk SMA. Aku berdesak-desakan dengan orang-orang yang sudah tidak sabar melihat apakah dia diterima di sekolah tersebut. Aku harap-harap cemas.
Sekolah yang pertama kali aku datangi adalah sekolah yang sangat aku inginkan untuk memasukinya yaitu SMA Stupa. Aku sudah tidak yakin akan diterima di sana. Aku takut tidak diterima di Sekolah Idamanku ini. Aku mendekati papan pengumuman itu. Melihat Nilai SKHU yang paling tinggi. Di sana tertulis nomor pendaftar, nama peserta dan nilainya. Aku memperhatikan. Aku melihat nilai teratas yang diterima adalah 9,8. Nilai yang jauh beda denganku yang hanya memiliki rataan 7,6. Miris. Aku berusaha menguatkan hati dan berusaha optimis akan diterima. Akhirnya pencarianku sia-sia. Namaku jauh berada di bawah garis batas penerimaan. Masuk dalam kategori cadangan pun tidak. Sekilas aku melihat nama Adam berada pada cadangan pertama di papan pengumuman itu.
Dengan berkecil hati aku meninggalkan tempat itu dan berlalu menuju sekolah selanjutnya yaitu SMA Dwipa. Sepertinya hal yang sama juga terjadi di sana. Aku hanya mencoba memasuki kerumunan orang yang ingin sekali melihat pengumuman itu. Bola mataku berputar dan mencoba mencari-cari namaku. Aku tak menemukannya. Akhirnya aku berpasrah diri melihat ke kategori penerimaan siswa cadangan. Aku berada pada barisan ke-lima dari garis merah. Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Pasrah, lunglai dan tak bersemangat. Kemana harusnya aku melanjutkan sekolah. Ah, aku masih ada harapan untuk diterima di sini dan mengapai keinginanku.
Aku melihat beberapa temanku sangat bahagia dengan kelulusannya di sekolah ini. Berbeda 8jauh dengan nasibku yang sampai saat ini tidak jelas. Aku harus apa? Untuk menghibur hatiku yang gundah aku berpikiran baik, mungkin tidak hanya aku yang merasakan hal ini. Masih banyak yang lain yang nasibnya sama denganku. Aku berusaha tegar.
Pulang dengan wajah muram dan berlalu dengan tanpa kata di depan ayah duduk di ruang tamu tanpa melihat ke arahnya. Aku tidak tahu apa yang akan ku sampaikan kepadanya. Rasanya ini semua terlalu membuatku tidak menjadi apa-apa. Aku merasa gagal, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah masih ada harapan untukku? Aku merasa sangat rendah diri.
Ayah sepertinya tahu dengan apa yang aku rasakan. Beliau mendekatiku. Aku sudah tahu apa yang akan dia tanyakan kepadaku. “Bagaimana hasilnya dris?”. Aku hanya terdiam tanpa kata. Diam sejenak dan mencoba menjawab pertanyaan yang sangat aku tidak sukai ini. “Cadangan yah” jawabku singkat. Hatiku masih belum bisa menerima itu. Aku selalu berpikir kenapa teman-teman yang tidak belajar saja mampu lulus di sana? Mereka bisa memilih sekolah yang dia inginkan tanpa harus terkatung-katung dengan nasib yang belum tentu arah. “Sudahlah, masih ada kesempatan kok. Jangan cepat menyerah begitu. Ambil hikmah dari kejadian ini. Tuhan lebih tahu yang terbaik buat umat-Nya”. Nasehat ayahku terasa berat diterima di hatiku. “Tapi…Banyak dari teman-temanku yang tidak belajar malah dapat memilih sekolah yang diinginkannya. Sedangkan aku? Untuk memasuki sekolah biasa saja aku hanya berada dalam kategori cadangan.” Menyampaikan semua yang ada di benak dan hatiku yang tak mampu lagi kusembunyikan. “Apapun itu, Tuhan lebih tahu nak. Mungkin apa yang kita harapkan tidak akan langsung terwujud. Semua butuh proses. Ada yang langsung terwujud sesuai dengan yang kita harapkan, ada yang diganti dengan yang lebih baik untuk kita atau malah tidak terwujud sama sekali karena tidak cocok dengan kita. Kita hanya butuh ikhlas”. Biasanya Ayah tak pernah berpanjang lebar seperti ini. Aku tahu itu benar. Tapi masih ada hal yang menganjal di sini, di hati ini. Ayah hanya berlalu setelah berucap hal itu.
***
Malam seperti tahu dengan apa yang aku rasakan. Hawa dingin dan badai menemaniku malam ini. Seperti hatiku yang luluh diterpa badai ketidakpastian terhadap nasibku. Aku hanya butuh kepastian. Tapi siapa yang harus aku salahkan? Dengan berpikir seperti ini aku seperti menyalahkan tuhan yang tidak adil denganku. Ah, pikiran bodoh! Bukankah ini juga salahku yang tidak mempersiapkannya dengan maksimal? Bukankah usaha sebanding dengan hasil? Berarti apakah aku yang belum melakukan itu? Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak berusaha tapi mendapatkan yang mereka inginkan dengan mudah? Hatiku semakin galau. Hujan mengiringiku dalam peraduan. Setelah lelah berdebat dengan hatiku, aku terlelap dan berharap saat pengumuman itu aku mendapatkan hasil yang kuinginkan.
Pengumuman cadangan diumumkan hari ini setelah para siswa yang telah dinyatakan lulus melakukan pendaftaran ulang di sekolah tersebut. Aku berharap hari ini mendapatkan kabar gembira. Aku berusaha optimis dari sebelumnya. Ini kesempatanku yang terakhir. Dua papan besar dengan puluhan kertas telah ditempel di atasnya. Puluhan siswa yang belum tahu nasibnya seperti diriku berkerumun di depan papan itu. Seperti anak ayam yang diberi makan. Berdesak desakkan dengan menaruh harapan namanya tertempel di papan tersebut. Akhirnya aku bisa menerobos kerumunan itu. Aku meneliti satu per satu kertas yang ada di papan itu berharap namaku. Aku melihatnya lagi dengan seksama. Aku tahu nomor urutan itu. Nomor itu dikuti dengan nama pendaftar ‘Muhammad Idris’. Alhamdulillah, aku lulus. Rasanya aku sangat lega dengan hal ini. Tak pernah aku merasa selega ini. Tak henti-hentinya aku berucap syukur kepadaNya. Ternyata ayah benar. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatNya. Mungkin inilah yang terbaik untukku, untuk masa depanku.














Putih Abu-Abu
“Cepat sedikit dek! Emang kamu mau jadi model di sini.” Bentak seorang kakak kelas yang sengaja memasang wajah yang menakutkan. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Beberapa anak disuruh untuk berjalan jongkok dari gerbang tempat dia berdiri sampai ke barisan. Suara yang tadinya hanya berasal dari satu kakak kelas sekarang mulai bersahut-sahutan. Bentakkan demi bentakkan dilontarkan kepada anak yang terlambat pagi ini.
 Sekarang masih jam setengah tujuh pagi, udara pagi masih menusuk tulang. Aku sengaja datang lebih pagi untuk menghadiri masa orientasi sekolah (MOS). Berbaris bersama dengan rapi di lapangan untuk mengikuti upacara pembukaan. Aku masih sempat mencuri pandang ke arah teman-teman yang dihukum karena terlambat. Terlihat seorang yang sepertinya aku kenal. Itu adalah Adam. Aku baru sadar kalau dia juga bersekolah di sini. Kenapa dia mau bersekolah di sini? Aku hanya berniat untuk menyimpan pertanyaan itu.
“Hei dek! Perhatikan orang yang sedang berbicara di depan. Kamu bisa kan menghargai orang yang di depan?” bentak seorang kakak kelas karena melihatku tidak mendengarkan instruksi ketua panitia di depan lapangan. Aku hanya bergegas memperbaiki sikap dan berharap tidak mendapatkan teguran lagi. Kadang aku berpikir kenapa kami harus diperlakukan seperti ini. Memakai aksesoris yang memalukan dan disuruh berbaris layaknya angkatan perang yang sudah kalah perang. Dan tidak hanya itu, beberapa kali kami dibentak karena hal yang tidak jelas bahkan disalahkan tanpa sebab.
Masa orientasi sekolah merupakan salah satu agenda wajib sekolah bagi setiap siswa baru sebelum menempuh proses belajar mengajar di sekolah. MOS ini biasanya dilakukan selama tiga hari. Dwipa juga menerapkan hal yang sama. Akan tetapi pada tahun ini sepertinya beberapa kegiatan MOS yang tidak bermanfaat mulai dikurangi. Aku juga berpendapat sama. Kalau dipikirkan, terkadang acara MOS ini tidak memiliki manfaat nyata bagi kami. Kami hanya dibentak, dimarahi, dihukum dan hal itu berlanjut setiap harinya. Aku hanya berharap acara ini cepat selesai dan segera bisa menjadi seorang anak SMA seutuhnya.
***
Hari pertama sekolah terasa sangat menyenangkan, masa orientasi sekolah telah berakhir. Aku akhirnya merasa sangat bebas ketika acara ini ditutup dengan muhasabah bersama. Sejujurnya, beberapa kegiatan ini sangat membuat kami jengkel walaupun ada beberapa diantara kegiatan yang membuat kesan tersendiri dan tak ingin melupakannya. Kalau kita berpikiran baik tentang kegiatan ini, mungkin kita dapat mengambil pelajarannya. Salah satu pelajarannya yaitu membuat kita semakin kompak, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki mental yang kuat. Walaupun menurutku hal itu masih bisa disampaikan dengan cara yang lebih baik.
 Seminggu berjalan tanpa ada hal yang spesial di sekolah ini. Hanya merasa sedikit berbeda ketika harus memakai seragam putih abu-abu yang dulunya berseragam putih biru. Aku ditempatkan di kelas X4. Tak ada seorangpun yang aku kenal ketika waktu di MTsN dulu. Aku mendapatkan kenalan baru di kelas ini. Teman yang pertama kali mengajakku kenalan bernama Daud. Dia berasal dari SMP unggulan di kotaku. Aku bisa menjadi akrab dengannya karena dia memiliki sedikit kesamaan denganku. Kami mulai bercerita banyak. Dari kenapa kita memilih Dwipa, membicarakan soal cewek yang cantik di kelas sampai bercerita tentang yang tidak jelas untuk dibahas.
Kalau orang yang tercantik di kelas ya yang jelas dia itu adalah Tari. Gimana pendapatmu? Coba deh perhatikan baik-baik, bukankah dia itu mirip artis?” katanya sambil melirik ke arah seorang cewek yang duduk persis di depan bangku kami.
Ah, gak juga. Sebenarnya sih emang cantik. Mirip Cinta Laura bukan? Haha. Tapi bukankah lebih cantikan teman satu sekolahmu yang itu.” Aku menjawab dengan sedikit ketawa kecil di wajah yang menandakan diriku sedikit malu mengakuinya. Melirik dengan tajam di sudut ruang kelas yang penuh dengan canda tawa teman-teman yang masih setia menunggu kedatangan guru.
“Siapa? Melanie?” tanyanya seolah tahu apa yang aku pikirkan. Aku hanya tersenyum kecil dan berusaha mengangguk malu. “Ah, kalau aku mah udah bosen sama tampangnya. Hampir tiga tahun aku sekelas dengannya waktu SMP dulu. Yah, sebenarnya cantik sih tapi ngebosenin” sambungnya.
Aku tak perlu menghiraukan dia saat berbicara seperti itu. Ada sedikit rasa tidak senang ketika kita mengagumi seseorang tetapi ditanggapi berbeda oleh orang lain. Setidaknya aku tak perlu merasa kesal ketika itu, beberapa temanku sepakat dengan pendapatku tadi.  Salah satunya Adam, dia bercerita tentang cewek yang cantik di sekolah ini. Dan orang itu salah satunya Melanie. Semenjak aku melihatnya di acara MOS beberapa minggu yang lalu, aku sering sekedar bermain ke kelasnya untuk ngobrol-ngalur-ngidul. Adam tidak lagi sekelas denganku. Walaupun kami masih bisa berada dalam satu sekolah, yaitu sekolah yang tidak sesuai dengan impian yang kami ungkapkan dulu.
Masalah cewek menjadi topik yang hangat waktu pertama kali memasuki masa putih abu-abu. Mungkin masa putih abu-abu lah yang tepat untuk menggambarkan suasana ini. Suasana keingintahuan dalam segala hal. Kami tidak hanya berganti celana dari biru menjadi abu-abu, tapi kami juga berganti pola pikir dari seorang anak-anak menjadi remaja. Abu-abu, warna yang tidak putih dan tidak hitam. Warna yang diibaratkan penuh tanda tanya dan ketidakjelasan. Di sini adalah masa kami untuk mencari tahu jati diri kami, mencari kesenangan kami, mencari sesuatu yang menarik buat kami, salah satunya masalah cinta.
Masalah cinta dan lawan jenis merupakan dua hal yang berbarengan yang ingin sekali diketahui. Aku pun tidak tahu kenapa hal ini merupakan hal yang paling menarik untuk dibahas saat ini. Apakah karena dampak siaran TV yang bisa merubah pola pikir kami sehingga menjadi seperti ini? Atau apakah memang kami sudah merasa dewasa dan harus mengetahui lebih dalam soal cinta? Aku tak menemukan jawabannya. Yang aku tahu hanya semua ini salah satunya ditimbulkan dari tayangan FTV atau Sinetron remaja yang mengajarkan tentang masalah percintaan remaja. Masalah percintaan yang akhirnya merasuk ke bagian otak dan diproses di dalamnya sehingga menghasilkan anggapan yang seperti itu.
***
 “Kayaknya aku belum merasa maksimal deh dengan ujian kemaren.” Kata salah satu siswa yang berdiri di taman sekolah yang berada di depan ruang majelis guru. Percakapan dengan seorang temannya ini terdengar jelas di telingaku ketika aku berjalan untuk menyerahkan berkas tugas ke meja piket. Aku tahu apa yang sedang mereka ceritakan. Pasti mereka sedang bercerita tentang ujian yang diselenggarakan sekolah pada hari minggu kemarin. Ujian penentuan kelas. Di dwipa, tahun ini mulai menerapkan sistem kelas RSBI dan SSN sehingga kami para siswa harus bisa memenuhi standar. Salah satunya dengan mengikuti ujian penentuan kelas. Bentuk ujian penentuan kelas ini dibagi menjadi tiga sesi ujian. Ujiannya yaitu ujian akademik, tes IQ dan ujian pelajaran agama.
Semenjak diterima di Dwipa, aku tidak terlalu tertarik untuk mengurusi hal yang semacam itu. Aku hanya sekedar mengikuti semua kegiatan di sekolah ini tanpa ada motivasi untuk menjadi bermanfaat bagiku. Aku berada di bawah rata-rata orang. Di kelas pun aku hanya sekedar mendengarkan guru-guru yang silih berganti mengajar tanpa ada semangat untuk mengikuti pelajarannya. Apakah ini bentuk protesku kepada diriku sendiri? Mungkin saja. Tapi, masih adakah sedikit rasa syukurku ketika memasuki sekolah ini? Entahlah.
***
Bel tanda istirahat sudah berbunyi, suasana kelas yang sudah gaduh terasa semakin ramai. Beberapa anak kelihatan sudah tidak sabar untuk keluar dari kelas. Begitu juga denganku. Pikiranku semenjak dari tadi siang sudah berada di luar kelas, bukan karena aku terlalu malas belajar pelajaran fisika tapi memang karena perutku yang sudah tidak tahan lagi menunda lapar. Di luar kelas aku  melihat sahabatku sudah setia menungguiku di teras depan kelas. Aku dan Adam hampir setiap harinya saling bertemu dan bercerita bersama menghabiskan waktu istirahat. Aku bergegas menyusulnya ketika guru fisika mengakhiri kelas siang ini.
“Sudah lihat pengumuman tentang pembagian kelas Yuang?” Tanya Adam kepadaku. Kata ‘Yuang’ merupakan sapaan akrab kami ketika melakukan percakapan dengan bawaan santai.
“Emang sudah keluar ya? Kamu sudah lihat?” jawabku santai tanpa terlalu peduli dengan hasil yang aku terima nantinya. Aku bisa membaca wajahnya yang sedikit tertarik dengan penentuan kelas ini.
“Tadi waktu aku lihat, sepertinya aku berada di kelas X1. Aku juga menemukan nama teman-teman satu kelas waktu di MTsN dulu deh. Nama Ihsan dan Arsal juga ada di kelas itu. Tapi tadi aku tidak melihat namamu di kelas yang sama. Sepertinya kita tidak satu kelas lagi dris. Kamu mau lihat langsung? Ayo aku temanin.” Ajak Adam.
Aku hanya mengangguk tanpa terlalu banyak basa basi. Rasa laparku sepertinya sedikit hilang karena rasa penasaran yang sekarang menyelimuti hatiku. Sedikit demi sedikit rasa ketidakpedulianku terhadap hasil ujian itu semakin pudar. Kelas X1 merupakan kelas unggulan yang ada di Dwipa, katanya kelas itu akan difasilitasi oleh sekolah dan dibina sehingga menjadi kelas RSBI. Apalagi ketika mendengar nama-nama teman sekelasku di MTsN Model dulu sekarang berada dalam satu kelas. Rasanya aku menemukan fantasi rasa yang berbeda. Ah, perasaan macam apa ini? Apakah aku berharap ingin berada di kelas yang sama? Pikiran bodoh dan ketidakpedulianku yang dulu aku ungkapkan sekarang mulai menjadi penyesalan. Penyesalan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Di papan pengumuman aku hanya mendapatkan apa yang aku terima dari Adam tadi. Namaku berada di kelas X2. Kelas yang berada di urutan kedua setelah kelas Adam. Rasa iri dan sesal perlahan muncul di palung hati ini. Aku kembali merasa selalu kalah dengan Adam. Selalu tidak lebih beruntung dari Adam. Dia adalah salah satunya tolak ukur kemampuanku. Dialah motivasi terbesarku untuk menjadi lebih baik. Keinginan untuk melampauinya tidak pernah terwujud. Ini memang salahku. Aku terlalu berlarut-larut dengan kesalahan yang aku perbuat ketika memasuki SMA ini. Orang gagal tidak selamanya menjadi gagal kalau diimbangi dengan usaha. Aku kembali kalah untuk kedua kalinya. Aku hanya menatap kosong papan pengumuman itu dengan diiringi bel masuk yang memanggilku untuk kembali ke kelas. Aku tahu apa yang aku rasakan saat ini. Penyesalan. Adam sepertinya tidak terlalu mau ikut campur dengan pergolakan hatiku. Dia hanya berusaha menghiburku. Dia tahu ketika aku merasa galau. Rona wajahku jelas berubah ketika melihat pengumuman itu. Aku hanya berucap kalau aku bisa memperbaiki ini semua nanti.












Going The Extra Miles
R asa penyesalan dalam diriku semakin menjadi. Aku melewati hari sesalku dengan beban di hati. Kelas yang sekarang hanya dipenuhi dengan rasa curiga dan gagal. Aku belum temui kebahagian di awal perjalanan kelas ini. Beberapa hari aku hanya merenung. Terkadang kulirik kelas sebelah yang sepertinya lebih nyaman dan tenang. Ragaku ingin berada di kelas itu. Berada di sekitar mereka. Beberapa hari ini aku jarang bertemu dengan Adam. Aku tak tahu apa aku yang menghindar atau dia yang terlalu sibuk dengan kelas barunya. Aku hanya berlagak tidak peduli.
Terkadang rasa ketidakpuasan terhadap diri mampu memberikan motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik, dan berusaha untuk melupakan kesalahan dan kegagalan yang telah diperbuat. Berpuas diri dengan keadaan hanya akan mengurangi potensi dan usaha untuk mendapatkan yang terbaik. Sekarang aku menyadari itu dalam benakku dengan cernaan perasaan yang sedikit bisa aku pahami. Aku menginginkan posisi seperti mereka. Aku ingin membuktikan aku pantas berada di dekat mereka. Pembuktian itu akan aku buktikan dengan caraku sendiri. Dengan cara yang hanya terpikirkan olehku sendiri. Aku akan berusaha diatas orang-orang yang berada di kelas ini. Aku pasti bisa.
***
“Itu jawabannya SALAH! Seharusnya kan ga kayak gitu. Kalo mau melakukan faktorial harus dikalikan lagi! lagian itu kenapa x kuadratnya jadi seperti itu?” teriakan seorang cewek yang berada di bangku depan kelas saat aku mengerjakan beberapa soal matematika yang diberikan oleh guru kami yang berhalangan hadir pada hari ini.
“Lalu gimana?” jawabku singkat dengan sedikit sebel terhadap sanggahannya.
“mana aku tahu, kerjain aja sendiri. Katanya pinter...seharusnya kan tahu cara pemecahan yang benar, aku mah cuma mau ngingetin doang.” Dia kembali mengoceh dengan nada mengejekku. Aku tahu dia selalu saja seperti itu di kelas. Selalu menjadi orang sok pintar dan tahu segalanya. Mendengar kata-kata tadi aku sedikit emosi dan melemparkan spidol yang aku pegang ke mejanya, mungkin ini bukan kali pertama dia bersikap seperti itu. Spidol yang tadi aku lempar membuatnya sedikit kaget dan takut dengan keadaan ini. Aku memang sangat jarang membentak seorang cewek di depan orang banyak mungkin ini kali pertama aku melakukan hal seperti ini, ingin rasanya aku memukulnya kalo bukan seorang perempuan.
“Kalo emang tahu gimana ngerjainnya seharusnya kamu berbagilah dengan teman lain bukan malah mengejek gitu. Aku tahu kamu pinter, tapi jangan suka ngeremehin orang kayak gitu dong.” Nada suaraku meninggi dan kembali ke bangkuku. Beberapa teman-teman di kelas hanya memperhatikan kejadian dan mulai berbisik-bisik satu sama lain seperti penasaran dengan apa yang telah terjadi tadi.
Kelas masih saja ribut, beginilah suasana kelas kami ketika tidak ada guru. Soal matematika yang tadi aku kerjakan di depan kelas masih tertulis utuh di papan tulis, tidak ada yang kembali mau melanjutkannya bahkan cewek yang tadi menyanggahku. Nama cewek itu adalah Tirta, dia anak paling pinter di kelasku. Sejak pertama kali bertemu dengannya aku sudah mulai tidak menyukainya karena sifatnya yang menyebalkan. Sejujurnya mungkin karena kita berdua memiliki sifat yang sama sehingga tidak pernah bertemu dalam satu garis. Dia sama keras kepalanya denganku, tidak mau kalah dan ingin semuanya sempurna. Mungkin kejadian tadi tak akan terjadi jikalau dia tidak meremehkan orang dan lebih tahu cara menghargai hasil kerja orang lain. Aku mengerjakan soal tadi juga karena tujuannya untuk berbagi dengan temen-temen lain yang merasa kesulitan mengerjakannya. Dulu mungkin aku tidak peduli dengan kelakuannya yang sering kali unjuk diri ke depan publik dengan menjawab berbagai pertanyaan guru dan terlihat pintar di depan teman-teman kelas meskipun aku selalu berpikir memangnya hanya dia yang bisa melakukan itu, banyak teman-teman lain di kelas yang bisa. Tapi, semenjak kejadian tadi aku dan dia selalu merasa kita adalah saingan di kelas untuk mendapatkan posisi terbaik di kelas. Meskipun pada akhirnya aku mengakui kegigihan dan ketekunannya dalam belajar. Dia anak yang rajin dan pantang menyerah. Tanpa sadar aku sering memperhatikan kelakuannya.
***
 Tidak terasa hari berlalu semakin cepat, hampir mendekati satu semester di kelas ini. Walaupun dalam perjalananku aku selalu merasa harus mengejar target untuk segera membuktikan keberadaanku di kelas dan segera diakui oleh orang-orang di sekitarku bahwa aku bukanlah orang yang gagal. Semenjak kejadian pertengkaranku dengan cewek yang menyebalkan itu, aku terus berusaha untuk lebih menonjol dibandingkan teman-teman yang lainnya di kelas. Beberapa guru telah mulai mengenalku dan aku baru tahu beberapa orang guru sering bercerita tentang diriku di kelas sebelah yaitu di kelas anak unggulan dan hal ini semakin memotivasiku untuk menjadi lebih baik lagi. Sebenarnya bukan hanya aku yang sering diceritakan di hadapan anak-anak kelas unggulan itu tetapi juga si cewek menyebalkan di kelasku. Aku baru mengetahuinya setelah Ihsan menceritakannya kepadaku.
Ihsan merupakan salah seorang teman dekatku saat dulu berada di MTsN Model selain Adam. Aku dan Ihsan memang sering bertemu semenjak dia pindah ke kelas anak unggulan. Awalnya Ihsan sering mengeluh kepadaku terhadap suasana kelasnya yang sekarang tidak sama dengan suasana kelas di X.10nya dulu. Anak-anak di kelas sekarang ga terlalu mengasyikan dibandingkan kelasnya dulu dan dia sering kbmbermain ke kelas lamanya bahkan dia berniat pindah kembali ke sana, tapi sepertinya tidak bisa karena kebijakan sekolah yang harus diikuti untuk tetap berada di kelas unggulan.
“Aku sedikit males dengan Bu Laila yang selalu suka ngebandingin kelas kami dengan kelas-kelas lainnya. Memangnya setiap hal yang kita lakukan harus selalu lebih baik dibandingin kelas lain ya.” Curhatannya kepadaku. Aku hanya membalas dengan senyuman dan terus mendengarkannya bercerita kembali. “Eh, tapi nama kamu sering di sebut loh kalo di kelasku. Selain itu ada seorang teman kelasmu yang sering dibangga-banggain oleh Bu Laila. Kalo ga salah namanya Tirta. Emangnya apa sih yang kalian lakuin sampai si Ibu ngebanggain kalian segitunya. Lagian kayaknya aku lebih pinter dari kamu deh. Hahaha”. Dia mengakhiri kata-katanya dengan candaan dan menepuk pundakku. Kami hanya tertawa bersama dan sambil bercerita tentang hal lainnya.
***
“Tahu ga kalo kelas unggulan akan dirombak lagi?” kata seorang anak cewek yang sedang asyik bercerita dengan teman-teman di depan koridor sekolah. Aku menghampiri dan penasaran dengan cerita anak-anak tersebut. “Iya, katanya kelas tersebut akan dirombak lagi. Aku tahu dari cerita teman kelasku yang merupakan anak wakil kepala sekolah. Katanya kalo nanti, di semester ini nilai beberapa anak yang ada di kelas tersebut tidak memenuhi standar maka mereka akan dikeluarkan dari kelas unggulan tersebut dan digantikan oleh anak yang memiliki nilai yang bagus dari kelas lain dan direkomendasikan oleh guru yang ada di sekolah ini.” Sambung seorang anak lainnya. Dalam hatiku, aku seperti mendapatkan sebuah kesempatan dan secercah harapan untuk dapat membuktikan keberadaanku di Sekolah ini. Aku dapat menembus kegagalan-kegagalan yang aku perbuat sebelumnya. Aku bergegas kembali ke kelas dengan menaruh harapan untuk diri ini kembali di akhir semester.
***

Kita Juga Bisa!
Ujian semester telah selesai, sekolah akan segera memasuki semester baru setelah libur usai. Beberapa anak telah tak sabar menunggu waktu untuk libur dan segera melepas kepenatan bergelut dengan buku-buku pelajaran di sekolah. Bagiku aku lebih tak sabar menunggu waktu pengumuman peringkat kelas dan memulai semester baru dengan sebuah harapan. Aku telah berusaha sesuai dengan kemampuanku di semester ini untuk dapat mencapai target yang telah aku rencanakan. Walaupun dalam proses melewatinya tidak selalu sempurna, aku sering tidak serius belajar dalam kelas, mengobrol dengan teman sebangku, ataupun melakukan hal gila lainnya seperti anak SMA pada umumnya. Aku menyadari dalam semester ini bahwa aku sangat lemah dengan satu mata pelajaran yaitu fisika. Aku tidak pernah menyukai pelajaran ini sejak mengenalnya di bangku SMP. Hal ini berbeda jauh dengan sainganku yaitu si cewek menyebalkan. Dia selalu jago dalam hal memecahkan soal-soal rumit fisika dan matematika. Aku memang mengakui kemampuannya untuk pelajaran  Eksak, tapi jangan salah kalo untuk pelajaran sosial dan biologi aku adalah bintangnya di kelas. Semenjak pertengkaran dengannya dulu aku selalu menjadikan dia sebagai tolak ukurku untuk dapat berusaha lebih baik lagi di kelas.
Hubunganku dengan dia mulai membaik meskipun dalam setiap kali percakapan selalu saja berdebat, beradu argumen dan mempertahakan ego masing-masing. Keadaan ini sudah cukup baik untuk memulai kembali pertemanan dan mengakhiri pertengkaran ini. Aku baru tahu kalau dia tidak seburuk yang aku pikirkan. Dia ternyata juga merupakan teman dekat dari temanku Aisya. Beberapa kali kita tanpa sengaja kita sering pulang barengan karena dia bersama Aisya setelah sekolah usai walaupun sering kali juga di tengah jalan aku dan dia saling memojokan satu sama lain dan Aisya sebagai penengahnya. Bagiku kejadian ini adalah pelajaran untuk kita dapat mengenal orang lebih dekat tanpa menghapus semua kebaikannya dengan keburukan yang telah dia lakukan. Aku menjadi orang yang dapat lebih mencoba untuk memahami orang lain bahwa tidak semua hal yang dilakukan oleh orang yang tidak disukai menjadikan dirinya bukanlah orang baik, ternyata dia lebih baik dariku dalam beberapa hal dan aku menghargai itu.
***
Semester baru telah tiba, pengumuman peringat kelas pun sepertinya sudah tidak terlalu menjadi masalah lagi. Meskipun aku hanya berada di posisi nomor 2 di kelas, tapi aku selalu bersyukur karena menurutku si cewek menyebalkan itu memang lebih baik dan pantas untuk peringkat satu di kelas dibandingkan aku. Selain itu, mungkin hal ini dapat aku terima karena di semester ini aku harus melakukan remedial untuk ujian fisika meskipun aku tahu setelah remedial nilaiku akan lebih baik daripada Tirta tapi bukan berarti aku tak mengakui dia lebih baik. Dia jauh lebih rajin dan pinter daripada aku.
“Idris, Tirta bisa ikut ibu ke ruang majelis guru sebentar.” Sebuah suara datang dari depan pintu kelas. Aku dan Tirta saling melirik sambil heran sekaligus bingung kenapa dipanggil ke ruang guru. Tidak mungkin guru mempermasalahkan masalah pertengkaran dan saling ejekan kami. Kami meminta ijin keluar ke Guru Sosiologi yang sedang menjelaskan norma-norma sosial. “Kira-kira kenapa kita dipanggil ya?” tanya Tirta kepadaku. “Mana aku tahu.” Jawabku. Kami selau seperti itu, selalu saling membuat satu sama lain sebel.
Akhirnya kami sampai di ruang Guru, ada beberapa anak 3 anak lainnya yang sudah duduk di ruang tersebut. Salah satu diantaranya aku mengenal anak tersebut dia adalah Nisa. Dia merupakan teman sekelas dan teman pramukaku di MTsN dulu. Guru yang memanggil kami ke sini tadi adalah Ibu Laila. Dia merupakan guru matematika yang sering diceritakan Ihsan. Ibu tersebut memiliki cara berbicara yang khas dan terkadang terdengar agak kurang jelas di telinga karena suaranya seperti tertahan di hidung. Beliau memberitahu kami bahwa kami harus menggantikan beberapa anak yang ada di kelas unggulan dan kami disuruh untuk mulai hari ini atau besok sudah bisa bergabung dengan kelas anak unggulan. Dalam hatiku aku berkata “Akhirnyaaa...”
***

“Dris, Yakin bakalan pindah ke kelas itu?” tanya Nisa kepada. “Yakin. Emang kenapa Nis? Lagian di sana juga banyak teman-teman kelas kita yang lama kan ada di sana. Ada Adam, Ihsan, Mutia dan Arsal di sana.” Aku meyakinkan diriku untuk dapat segera bergabung dengan teman-teman sekelas dulu waktu di MTsN Model dulu. “Tapi tahu ga kalo anak-anak di kelas tersebut menentang kehadiran kita di kelas tersebut loh. Malah mereka mau protes katanya tidak mau kalo teman-temannya digantiin sama kita. Lagi itu aku denger sendiri kok waktu Ihsan dan teman-teman ngobrol di mushalla waktu shalat. Trus katanya mereka ga bakalan terima kehadiran kita dan membuat kita ga nyaman di kelas itu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-cerita Horor dan Hantu di Kampus IPB

Nama-Nama Murid Hogwart dan Tokoh Harry Potter

The Last Stories about Jobseeker for The Night!