Bogor itu Amegakure (Cerita tentang Hujan)
Bogor tumben hari ini cerah. Ya, bagi gue Bogor itu seperti Amegakure, apalagi beberapa minggu ini. Intensitas hujan di kota ini semakin hari semakin besar. Wajar dong kalo kota ini emang dinamai dengan kota hujan. Hujan tanpa henti membasahi tanah, kalaupun berenti itu gak cukup sejam dan abis itu lanjut kembali menguyur kota ini.
Ngomong-ngomong soal hujan di kota ini, kata SR gue yang kemaren tanpa sengaja ( sebenarnya sangat sengaja dan maksa Rian) buat berkunjung ke kontrakan kami. Siapa lagi kalo bukan SR favorit yang telah menjalani satu tahun asrama bersama kami. Ya, Alna Hotama. “Hujan di Bogor bukan buat ditunggui tapi emang buat diterobos”. Kalo dipikir emang iya sih. Kalo kita nungguin hujan di sini kapan mau keluar. Intinya, yang perlu disediain dan yaitu mesti sedia payung (walaupun payung gue ketinggalan di kontrakan temen saat tahun baruan dan sampe sekarang ga ada payung) harus sedia sepatu lebih (dan parahnya setiap hari harus ganti padahal yang kemarennya belum kering) dan pakaian yang tak kering-kering ( akhirnya terpaksa di laundry).
Lagi deh, ngomong-ngomong soal hujan...gue kangen hujan di kota Pariaman. Ya, hujan yang biasanya menguyur kota itu di pagi hari, yang bikin gue telat ke sekolah karena harus nunggu dia reda. Gue rindu hujan pariaman yang kalo malamnya pasti bakalan ditemenin sama badai atau petir yang gede. Jauh beda dengan hujan di Bogor yang biasanya turun setiap siang dan itu berlangsung sampe malam dan intinya selalu adem ayem, hanya sekali2 ada petir dan petirnya gede parah.
Oke, itulah sedikit cerita tentang hujan di dua kota yang gue cintai. Lagi-lagi deh, ngomong-ngomong soal hujan, gue berharap gue ga hujan air mata gara-gara ujian gue yang sampe sekarang belum ada yang memuaskan. Entah apa nilai yang bakalan gue dapat, yang penting gue udah usaha (usaha semalam suntuk “buat tidur”). Berdoa aja lah. Gue kangen Pariaman. Semester ini masih belum dapet tiket, entah gue balik atau enggaknya belum ada kepastian dari orang tua. Yang penting apapun itu, gue tetep seneng kok, tetep stay di sini ataupun balik ke Pariaman.
Ngomong-ngomong soal hujan di kota ini, kata SR gue yang kemaren tanpa sengaja ( sebenarnya sangat sengaja dan maksa Rian) buat berkunjung ke kontrakan kami. Siapa lagi kalo bukan SR favorit yang telah menjalani satu tahun asrama bersama kami. Ya, Alna Hotama. “Hujan di Bogor bukan buat ditunggui tapi emang buat diterobos”. Kalo dipikir emang iya sih. Kalo kita nungguin hujan di sini kapan mau keluar. Intinya, yang perlu disediain dan yaitu mesti sedia payung (walaupun payung gue ketinggalan di kontrakan temen saat tahun baruan dan sampe sekarang ga ada payung) harus sedia sepatu lebih (dan parahnya setiap hari harus ganti padahal yang kemarennya belum kering) dan pakaian yang tak kering-kering ( akhirnya terpaksa di laundry).
Lagi deh, ngomong-ngomong soal hujan...gue kangen hujan di kota Pariaman. Ya, hujan yang biasanya menguyur kota itu di pagi hari, yang bikin gue telat ke sekolah karena harus nunggu dia reda. Gue rindu hujan pariaman yang kalo malamnya pasti bakalan ditemenin sama badai atau petir yang gede. Jauh beda dengan hujan di Bogor yang biasanya turun setiap siang dan itu berlangsung sampe malam dan intinya selalu adem ayem, hanya sekali2 ada petir dan petirnya gede parah.
Oke, itulah sedikit cerita tentang hujan di dua kota yang gue cintai. Lagi-lagi deh, ngomong-ngomong soal hujan, gue berharap gue ga hujan air mata gara-gara ujian gue yang sampe sekarang belum ada yang memuaskan. Entah apa nilai yang bakalan gue dapat, yang penting gue udah usaha (usaha semalam suntuk “buat tidur”). Berdoa aja lah. Gue kangen Pariaman. Semester ini masih belum dapet tiket, entah gue balik atau enggaknya belum ada kepastian dari orang tua. Yang penting apapun itu, gue tetep seneng kok, tetep stay di sini ataupun balik ke Pariaman.
Komentar
Posting Komentar