Cerpen Islami (Masih belum punya judul)


Aroma fajar yang semakin menjauhkan indera gerakku yang masih tertabuh menikmati sepoi sisa shubuh. Aku kembali teringat satu kenangan indah semasa pertama melihat sosok yang menginspirasi itu. Sosok yang menjadikanku seperti sekarang ini. Sampai saat ini aku masih mengingatnya, aku terus menjadikannya motivasiku sampai detak jam yang terus berputar. Wanita itu...wanita berjilbab yang melantunkan ayat-ayat-Nya dengan merdu di balik ruangan itu. Saat itu hatiku berkata bahwa aku ingin menjadi seperti dirinya. Aku semakin terlarut dalam buaian shubuh ketika fajar mulai menampakan kilauannya dan aku melangkah hari ini dengan mengucapkan Bismillah.
            Aktivitas yang kujalani hari ini akan kuserahkan hanya untuk beribadah kepadaNya, ketika kicauan burung di samping jendela mulai merayu-rayu indah di telingaku. Hari ini, hari pertamaku menjalani hari-hari sibukku setelah menjalani liburan indahku di negeri seberang. Susu panas buatanku mengalir indah di tenggorokan dan sehelai roti cokelat melambai indah di lidahku. Di sela kicauan burung terdengar ketukan pintu diiringi suara merdu. Aku mengenal suaranya dan bergegas mendekati asal suara itu.
            “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” suara itu masih berulang kali menyahut.
            “waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” sahutku sambil membukakan pintu.
            “Apa kabar dhiyan, ya Uktiku tercinta?” suara lembut itu memanggil namaku. Dia teman terbaikku selama aku berada disini. Aku adalah anak perantau yang baru saja menimba ilmu selama satu semester di negeri ini.
            “Alhamdulillah, luar biasa sekali. Bagaimana dengan ukhti sendiri?”
            “Ya, Alhamdulillah sama dengan ukhti sendiri. Luar biasa. Ayo kita berangkat!”
            Perlahan kami meninggalkan persinggahan  itu dan bergegas menuju kampus yang tercinta. Aku masih bersama saudaraku tercinta dan bercanda gurau di sepanjang perjalanan menuju kampus. Terkenang masa-masa dulu,  saat kita masih lugu diawal kenal. Masa yang beralih terlalu kejam merenggut hariku-harimu-hari kita. Aku masih berpayung rindu. Rinai sendu masih menitik di wajahku...aku merindu, rindu hari-hari dulu... saat racun ego masih malu-malu menyengat waktu. Sekarang waktu tidak terasa perlahan meninggalkan perkenalan kita pertama dan kau dan aku semakin menjaga ukhwah ini dengan tali cinta persaudaraan. Tali persaudaraan yang begitu indah. Inginku utarakan sesegera mungkin apa yang kurasakan saat ini kepadamu. Aku bahagia mengenal teman seperti ukhti, ya Winda Harir.
            “ukhtiku, kau tahu betapa aku bersyukur mengenal dirimu?” tak sengaja mulut ini berucap seperti itu seiring dengan suara hati yang selama ini inginku sampaikan.
            “Ana juga merasakan hal yang sama ya sahabatku Mardhiyan Novita MZ. Siapa yang tidak bangga berteman dengan dirimu, siapa yang tidak mengenal dirimu ya Ukhti. Setiap orang pasti akan ingin berteman denganmu. Bukankah hati kita telah lama menyatu, dalam tali kisah persahabatan ilahi?” katanya sambil melihatku dengan tatapan sangat dalam, aku tahu makna tatapan itu.
            “Itu benar sekali sahabatku. Inginku rangkai kata indah untukmu sampai kita tiba di persinggahan kita terakhir. Tapi rasanya bibir ini kelu untuk berucap” aku tersenyum membalas tatapan indahnya.
            “Entah ego apa yang membuat kita seperti ini, namun sungguh dalam hati ini namamu ada dalam bingkai kenangan dan masa depan. Tiada yang lebih indah dari ukhuwah yang kita rajut bersama ini. aku mencintaimu layaknya mencintai diri ini. Uhibbuki fillah
                “Ternyata tak hanya rindu yang menitik di wajahku, air mataku, Sobat..... air mataku mengalir tenang bersama tenangnya sajak darimu. Kau membuatku menangis pagi ini. Ah! sungguh,  pagi menertawakanku.” Jawabku sambil meneteskan air mata ini.
            “aku tersenyum. kita berhasil, kita berhasil membuat pagi tertawa karena iri pada kasih yang tengah kita rajut ini. layaknya mentari dan hujan yang ada untuk berganti peran, begitupun aku dan dirimu, ada untuk saling melengkapi.” Katanya lirih.
            Rasanya pagi ini tak ingin berlalu. Sajak-sajak indah dari pertemanan kami rasanya tak ingin berlalu begitu saja. Hari ini sangat cerah, tapi rasanya cerah hari masih dikalahkan oleh cerahnya hati kita berdua. Sebiru hari ini, bak permadani di taman surga. Akupun kembali melanjutkan sajak indah yang mungkin takkan lelah bibir ini berucap untuk mebalas sajak indah darinya.
            “Kuseka air mata ini untukmu, sobat. untuk persahabatan kita, aku tersenyum untuk segala kenangan suka-duka masa lalu. Tersenyum untuk hari ini, tersenyum untuk detik selanjutnya yang akan setia menjadi saksi betapa eratnya ukhuwah kita.  Kita yaitu  aku, kamu, dan dia.” Aku berucap sambil teringat dengan satu temanku yang lainnya yaitu Fauzia Maghfiroh yang mungkin akan bertemu dengannya di kelas nanti.
            Dia hanya membalas dengan senyuman dan mata yang berbinar. Yah, itulah persahabatan kami. Persahabatan yang kadang tak mampu lagi kami utarakan dengan sajak indah karena persahabatan kami berasal dari cinta kasih-Nya, yang Maha Pecinta, yang Maha Pengasih. Ocehan kami membawa sampai kita di kelas sastra yang memang pelajaran yang aku pelajari untuk beberapa tahun ke depan sampai diwisudakan. Kelas sangat bergembira. Gembira karena hari indah? Bukan!
Hari ini mata kuliah Bahasa Arab kosong. Dosennya sakit. Tapi, kenapa tiba-tiba sedih ini merasuki hati ini. Aku tahu apa yang membuatku sangat sedih, aku tahu bahwa ini adalah sebuah penyesalan. Andai saja dulu aku memperlakukan pelajaran Bahasa Arab di pesantrenku dulu  seperti ini, mungkin saja cita-cita dan impianku untuk menikmati indahnya menimba ilmu di Al-Azhar Cairo akan terwujud. Penyesalan tiada gunanya. Hmm...sekarang bukan itu yang seharusnya aku pikirkan. Tugasku sekarang, bagaimana caranya menjadi sastrawan yang Quran dan dikenal sebagai seorang budayawan yang bukan buayawan. Hal itu terasa sangat kuat dalam hati ini, sangat kuat menjelagai hatiku yang sangat bersemangat mewujudkan mimpi indah itu. Aku sebagai lulusan pesantren rasanya mempunyai sedikit tanggung jawab untuk menyampaikan semua yang aku tahu untuk kebaikan bersama. Salah satu hal yang ingin kulakukan yaitu berdakwah dengan cara menulis, dakwah dengan hal yang aku bisa. Dan insyaallah itu akan terwujud dengan kegigihanku dalam menimba ilmu-ilmu yang Allah persembahkan untuk umat manusia.
Senja indah dengan gema kebesaran-Nya pun datang menyeru, tak terasa hari ini berlalu dengan cepat. Tiba-tiba rindu mendengar adzan sang muadzin Minang. Kerinduan ini meraung memanggilku tuk segera bersujud di kampung halaman. Aku merindukan kampung halamanku. Liburan semester kemarin aku tak sempat untuk kembali menjejakkan kakiku di sana. Walaupun begitu aku tetap bersyukur kepada-Nya. Aku diberikan nikmat yang lebih besar yaitu diberi kesempatan untuk mendengarkan adzan di negeri seberang yaitu Malaysia. Aku diundang menjadi narasumber untuk acara budaya sastra di sana. Seperti yang aku yakinkan, janji pada-Mu kupenuhi. Rabb... Alhamdulillah rinai dan angin semalam menjadi saksi. Ini yang membuatku tak ingin berpaling dari perjalanan menuju mahabbah-Mu, Kau slalu setia-sedia mengulurkan tangan-Mu. Semakin beralihnya masa, aku semakin yakin cinta-Mu adalah Maha Cinta ‘Lalu, nikmat-Mu yang mana lagi yang harus aku dustakan?’
Selesai bersujud di pangkuan-Nya, tak sadar air suci dari mataku menetes dengan penuh makna. Aku kembali mengingat semua nikmat yang Kau berikan. Aku tak henti-hentinya bersyukur ketika aku masih berlumurkan dengan banyak kesalahan. Ingin rasanya aku sampaikan semua yang ada di hatiku meskipun Kau adalah yang Maha Tahu. Kalau tidak karena hidayah-Mu melalui perempuan yang membaca ayat-Mu itu, aku takkan seperti saat ini. Aku berterima kasih kepada kakak perempuan yang kutemui di acara Pesantren Ramadhan ketika MTsN Model dulu. Aku berulang kali menerima undangan untuk ke luar negeri dan masuk koran nasional di sana merupakan nikmat yang begitu besar ya Rabb. Semua prestasi dan kemampuan ini tak ada artinya jika tanpa istiqamah kepada-Mu.
Satu per satu mimpiku bisa tercapai dengan kegigihan, ketangguhan, keyakinan, dan kesabaran. Insyaallah mimpi-mimpi berikutnya akan terwujud sesuai dengan gilirannya. Tentunya semua tak lepas jua dari pengaruh orang-orang sekitar. Mereka yang melukis kebersamaan ukhuwah dengan sosok gadis sepertiku yang banyak kekurangan, jazakumuulah khairan ahsana jaza'. Di dalam hati dan kepalaku kembali berbisik panggilan syahdu. Aku merindukan mereka. Aku memiliki seorang motivator berprinsip kuat, ia adalah ayahandaku. Aku memiliki seorang wanita penyayang yang mulia hatinya, ia adalah ibundaku. Dan aku... aku memiliki 3 ksatria hebat dalam hidupku yaitu dek Fadhil Afrinaldi, Dek Fauzan, dan Dek Faisal. Mereka adalah adik-adik ter-jeniusku. Rabb... aku merindukan mereka.
Angin malam berbisik syahdu di hadapan semua inderaku "dhiyan... menjadi orang luar biasa itu mesti berani melakukan perjuangan yang lebih daripada orang-orang yang berjuang biasa-biasa saja. bahkan, korbankanlah sedikit kbiasaan yang hanya melalaikan waktumu". Itu adalah salah satu kata yang kembali kuucapkan untuk diriku yang telah aku berikan kepada ksatria kecilku. aku mencintai antum Fadhil Afrinaldi, Fauzan, Faisal. Harapan dan semua mimpi-mimpi antum yg telah berani diutarakan pada sosok kakak yang sejatinya menabur cahaya mimpi demi antum yang sangat dicintai dan akan aku bantu untuk mewujudkannya adik-adikku.
Kedua tanganku akan slalu sedia memberi genggaman yg myakinkan ‘kita bisa!’. Sepasang mataku, akan selalu sedia menyampaikan sinar semangat bahwa cahaya impian antum tak boleh sirna, tak boleh redup. Bibirku akan selalu sedia mengucapkan kalimat keoptimisan yang membuat langkah antum harus makin tegar menghadapi kenyataan hidup. Telingaku akan sedia mendengar celotehan mimpi yang ingin antum raih. Hatiku akan selalu sedia menguntai doa untuk antum. Bahkan pundakku. Dek.. kedua pundakku akan siap untuk antum pijak agar semakin mendekati mimpi-mimpi tinggi itu. Pundakku siap untuk memikul beban pengorbanan demi pendidikan antum, demi masa depan antum, demi hari-hari bahagia antum, dan demi persaudaraan kita, demi membuktikan pada papa dan mama. Mereka mampu menjadikan aku si sulung yg bertekad gigih untuk hari esok antum, uhibbukum fillah.

  Aku kembali ke meja belajarku. Aku menulis kembali cerita indahku di dalam diary kecil bersampulkan kenangan indah di setiap helai lembaran kertas bertuliskan tinta indah. Tapi, kenapa tiba-tiba kepalaku kembali terasa terbakar. Rasanya seperti pukulan kuat di kepala belakang membuatku ingin menjerit. Aku mengapai tumpukan obat yang lupa aku minum hari ini. Tumpukan obat yang selalu menemaniku semenjak kecelakaan di MTsN dulu. Mereka setia menemani kerongkonganku setiap harinya. Kadang aku merasa bosan dengan mereka. Aku bosan merasakan mereka lewat di celah kerongkonganku ini. Satu per satu obat itu ku minum. Tapi rasa sakit itu tak kunjung segera reda seperti yang kuinginkan.
Ada isak di sudut malam yang meraung dalam diam. Enggan berbagi walau hanya setetes cairan hangat nan mengalir tenang. Meyakinkan hatiku "Ada sakit tandanya ada Sang Maha Penyembuh". Menggurat senyum dalam angan, menggugat tangis yang terpendam. Aku ingin sendiri. menepi sejenak..itu saja!! mengusir virus cephalgia yang mengutukku. Virus yang sebenarnya tidak kuinginkan. Cephalgia yang semakin hari semakin mengorogoti saraf otak belakangku. Aku memiliki penyakit chepalgia, penyakit yang menganggu hari-hariku. Ah! Haruskah aku mengeluh dengan penyakit ini padahal banyak nikmat yang telah aku terima. Aku meragu dan risau dalam tangisku malam ini. aku ditinggal bersama rinai. ia pergi berbekal apa yang ia larang. tak sekedar kuyup, hujan justru lancang mencabik kisahku. Luka petang yang digoreskannya, berdarah ungu! pergilah....dan aku terkapar menjeda pujimu. tak usah pulang...ah! tak mungkin.. aku yang menyelinap di ruang teduhmu.. aku ingin mengusirmu!! Lagi-lagi aku meyakinkan, si cair warna mawar tak akan meleleh dari indra penciumku. aku kuat!
            Tak sadar mata ini terpenjam dengan saup derai hujan di luar jendela kamar menjelagai semua dengan hati yang belum tenang. Pandangan ku kabur. Apa yang terjadi dengan diriku? Haruskah cairan merah ini kembali mengalir lembut? Pergolakan bathinku semakin menjadi. Aku hanya ingin dia pergi menjauh. Dan aku terbaring lesu di meja belajarku. Dan semua terasa hening.
            "janganlah kamu mati sebelum kematian itu, dan tetaplah hidup mesti sebenarnya kau telah mati." (Ali bin Abi Thalib). Untaian kata indah yang pertama kali kubaca di salah satu buku favoritku menjadikannya kutipan dalam setiap helai kisah hidupku, hal ini membuatku kembali kuat. Aku mencoba melawan ini semua dan kembali tersenyum dengan keindahan nikmat yang kuterima dan perlahan melupakan sakit ini. Allah Maha pengasih dan Penyayang. Sedikit demi sedikit rasa ini mulai menghilang dari kepalaku. Aku mencoba melangkah mengerakkan alat gerakku. Aku masih bisa melangkahkan kaki mengapai tempat tidurku dan mencoba membaringkan badan. Takkan kusanggah keinginan rinai yang terus menderas di sela malam. Semoga ada berkah-Nya pada setiap rintikan, memuji syukur dalam detik pujian di sela rasa sakit ini. Dan malam ini kututup hari dengan mengucap puji dan doa sehingga aku bisa memejamkan mata dan membukanya di kala shubuh hari.
            Fajar ternyata masih rindu dengan diriku dan memperbolehkanku untuk membuka mata kembali. Ku nyalakan cahaya dan senyapnya shubuh dan ku langkahkan kaki untuk bersuci dan menghadap kehadirat-Nya. Aku kembali bersujud kepada-Nya. Aku kembali mengucap syukur dengan kerendahan hati. Ternyata hidupku semakin berarti dengan semua ini. Banyak pembaharuan yang aku terima dari-Nya. Semakin banyak pembaharuan dan smakin banyak juga yang hilang dari masa laluku. Hmm...tak apa! Bukankah perubahan tiga tahun belakangan ini jauh lebih baik dan dapat mencerahkan masa depanku dengan cahaya-Nya. Aku memujinya di awal hari ini dan berharap ke depannya menjadi lebih baik. terimakasih untuk Sang Sutradara kehidupan yang Maha Dahsyat.

NB: cerita ini kutulis untuk mengikuti lomba IKMT. Dan terimakasih untuk Mardhiyan Novita MZ yang memperbolehkan saya mengutip kisah hidupnya dan memperbolehkan menulisnya. Oya, Mohon yang punya ide tolong comment judul untuk cerpen ini ya. :)

Komentar

  1. Aroma fajar semakin menjauhkan indera gerakku yang masih tertabuh menikmati sepoi sisa shubuh.

    teringat satu kenangan indah saat pertama melihat sosok yang menginspirasi itu.

    Sosok yang menjadikan aku sekarang ini.

    hingga saat ini,masih mengingat dan menjadikannya sebagai motivasiku.

    sosok wanita berjilbab, dengan merdunya melantunkan khalam illahi di balik ruangan itu.

    seketika hatiku berkata "aku ingin sepertinya"

    Aku semakin larut dalam buaian shubuh ketika fajar mulai menampakan kilaunya, hingga mencoba mengayunkan langkah dengan Bismillah.


    aly??
    pngen uci korek ko??
    sagan lo ci a

    BalasHapus
  2. aku semakin larut dalam buaian shubuh ketika fajarmulai menampakkan kilaunya.

    kicauan burung di samping jendela kamar, mulai merayu-rayu indah di telingaku, seraya mengajakku untuk mengayunkan langkah melewati hari dengan bismillah.

    Aktivitas hari ini kuserahkan hanya untuk beribadah padaNya.

    hari pertama kesibukkanku, setelah menjalani liburan indah di negeri seberang.

    Susu panas dengan sepotong roti cokelat melambai indah di lidahku.

    tiba-tiba terdengar sura diiringi ketukan pintu.

    “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” sahutan sang suara

    “waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” sapaku mulai mendekati sumber suara.

    “Apa kabar dhiyan, Uktiku tercinta?” sang suara yang ternyata adalah teman terbaik selama satu semester aku berada disini untuk menimba ilmu.

    “Alhamdulillah, luar biasa. Bagaimana dengan ukhti sendiri?”
    “Alhamdulillah, sama dengan ukhti sendiri. Ayo kita berangkat!”

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-cerita Horor dan Hantu di Kampus IPB

Nama-Nama Murid Hogwart dan Tokoh Harry Potter

The Last Stories about Jobseeker for The Night!