Mahasiswa (hanya) Penggembira Show TV?


Akhir ini sering melihat mahasiswa di tv. Tapi tentang rusuh tawuran, atau nongkrong di show-show tv dengan jas almamater kebanggaan. Ada juga mahasiswa berprestasi, bisnis atau ilmiah. Yang terakhir membanggakan. Tapi jujur, jarang melihat mahasiswa getol membela masyarakat lagi. Dimana mereka sebenarnya?

Munculnya virus entrepeneur dan prestasi ilmiah di kalangan mahasiswa layak dijempol. Tapi sayang tak sadar muncul sifat individualistis mengejar prestasi dan keberhasilan bisnis, mengurangi -kalo tak boleh dibilang melupakan- porsi perhatian pembelaan masyarakat. Menganggap kalau itu kebanggaan. Padahal kebanggaan terbagus adalah kalau kita bermanfaat. Mudah-mudahan juga bukan karena muncul fikir, "mahasiswa tugasnya belajar, ortu capek2 membiayai, harus fokus kuliah." Fikiran sempit. Hidup hanya untuk diri.

Mungkin muncul anggapan, tak zaman kita turun kejalan. Aksipun paling tak dianggap. Hanya sekedar pantas-pantasan. Isu korupsi sudah semakin menjemukan. Isu turunkan sudah tak didengar. Isu politik jg sudah kebal.
Apalagi kental anggapan suara mahasiswa sudah dibeli oleh pihak tertentu. Jika dulu saat aksi, bahkan pedagang asonganpun melemparkan aqua2 dagangannya kepada mahasiswa yang nangkring diatas bis, kini masyarakat apatis, bikin macet fikirnya. Demo bayaran gosipnya. Meski yakin masih ada yg benar2 murni.

Kira-kira kenapa masyarakat muncul fikir begitu? Karena isu advokasi tak menyentuh mereka secara langsung. Korupsi, hanya sentuh pejabat dan jadi peluru politik. Pilkada, sama. Isu KPK? Idem. RUU intelijen, seperti jauh dari mereka.

Bandingkan aksi sederhana tentang 'pencurian pulsa' belakangan ini. Simple tapi menghisap publik dan jurnalis. Pemerintah mampu didesak. Gelinding isu tak henti. Masyarakatpun angguk kepala. Mereka bincang dikumpul-kumpulnya, 'benar,,gila ya operator nyuri duit kita'. Yang diam didzalimi, menjadi berani bersuara. Masyarakat merasa dibela. Karena isunya mengenai mereka secara langsung.

Tak jauh beda isu Prita Mulyasari. Isu itu sangat dekat dengan masyarakat. Ibu-ibu yang punya anak. Orang yg dikerjai rumah sakit. Dekat dengan mereka. Jauh dari gaduh politik yg membosankan.

Kemana advokasi mahasiswa harus fokus? Lebih baik sasar isu yang dzalim langsung pada masyarakat. Dekat dengan masyarakat tak hanya berarti bakti sosial, tak hanya urus bantuan bencana alam, karena untuk hal itu semua pihak sudah bergerak. Tapi sangat..sangat..sangat..sedikit yg berani bela hak publik. Masyarakat tak punya kekuatan dan minim akses. Ditindas tapi tak bisa apa-apa. Hanya diam. Mahasiswa punya KEKUATAN DAN AKSES. Bisa dianggap tak bersyukur kalau tak gunakan keduanya.

Harusnya mahasiswa yg paling aktif buat gerakan seribu koin. Bela pedagang yg dirusak lapaknya tak manusiawi. Bela tukang becak yg dirampas becaknya. Hadang penggusuran masyarakat miskin. Angkat isu TKI teraniaya. Hadang sinetron-sinetron busuk. Tembak tukang parkir yg rampok pengendara. Tentang peraturan tentang tempat parkir yang hanya mau ambil uang tapi tak mau tanggung jawab kehilangan. Tuntut negara bantu anak yg kurang gizi. Tuntut bantuan pada desa yg sebagian besar masyarakat idiot di ponorogo. Buat arus massa cegah mall hancurkan pedagang kecil. Tuntut tol naik tapi minim pelayanan. Tegas pada gunung sampah yang tak tertangani, padahal di tengah kota besar. Banyak isu lain.

Mahasiswa tak boleh henti. Tak boleh dijebak arus individualis. Tak benar terlalu asik dengan diskusi2 menara gading. Tak layak terlalu ketawa ketiwi hadir diacara2 komedi karena dibayar, tapi tak bela masyarakat. MALU. Untuk apa kita ada?


*mohon bantuan sebarkan kemahasiswa, tag teman2, kirim ke millis2 mahasiswa, tempel di tembok2 kampus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-cerita Horor dan Hantu di Kampus IPB

Nama-Nama Murid Hogwart dan Tokoh Harry Potter

The Last Stories about Jobseeker for The Night!